3. A Lie

790 130 93
                                    

"Tidak usah, Jim ... aku berangkat sendiri saja," kata Jiseo.

"Tapi aku sudah hampir sampai ke rumahmu, hanya tinggal menunggu lampu berubah menjadi hijau saja," cerocos Jimin lewat sambungan telepon.

"Tidak usah, kau langsung ke kantor saja," tolak Jiseo lembut.

"Sayang, mengapa setiap aku ingin menjemputmu kau selalu menolaknya?" tanya Jimin yang kini mengernyitkan dahinya.

"A-a aku harus mengantar Ahrin dulu ke kampus," bohong Jiseo.

"Memangnya anak itu tidak berangkat sendiri atau—"

"Seokie tidak bisa menjemputnya karena sedang memperbaiki tokonya yang kemarin terkena ledakan," potong Jiseo.

"A-Apa?"

"Aku akan menceritakannya di kantor nanti."kata Jiseo sambil sedikit terkekeh.

"Sepertinya menarik," komentar pria berambut hitam yang kini sudah siap menginjak pedal gasnya.

"Sampai jumpa di kantor, Jim," kata Jiseo.

"Iya, aku mencintaimu."

"Aku juga."

Akhirnya, sambungan telepon mereka matikan. Jiseo memasukan ponselnya kembali ke dalam tas, wajahnya tertunduk dengan mata yang mulai memanas. Seharusnya ia tidak pernah menolak jika Jimin ingin menjemput dan mengajaknya berangkat ke kantor bersama. Bukankah mereka sepasang kekasih, huh? Jadi seharusnya wajar jika Jimin menunjukkan perhatiaannya seperti itu. Namun, ada hal lain yang selalu mengganggu pikiran Jiseo dan membuatnya melakukan hal ini.

"Sudah, jangan menangis."

Tangan besar pria yang kini duduk di samping Jiseo mengusak surai coklat gadis itu sambil fokus menyetir.

"Aku tidak menangis," balas Jiseo.

Pria itu menyunggingkan bibirnya."Matamu sudah mulai berair," katanya.

"Oppa, bolehkah sekali-kali aku berangkat bekerja dengan Jimin?" tanya Jiseo.

"Cih! apakah kau tidak merasa risih berangkat bersamanya?" Ia balik bertanya.

"Risih?"

"Maksudku, lihatlah dirimu. Kau kotor ... kau bahkan sebenarnya tidak pantas untuk berpacaran dengannya."

Jiseo menunduk semakin dalam.

"Aku mengizinkanmu berpacaran dengannya karena aku melihat dia begitu mencintaimu."

Pria itu benar-benar membuat paginya terasa mengerikan sekarang.

"Kau tau—"

"Tenanglah, aku tidak akan menyerahkan tubuh kotorku pada Jimin," lirih Jiseo.

Ia menatap gadis yang kini memberanikan dirinya mendongak dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan.

"Kau bisa memakaiku sampai kau puas, Oppa."

Lelaki yang Jiseo panggil dengan sebutan 'oppa' tersebut kembali mengusak rambut Jiseo. Lama kelamaan tangannya mulai turun ke arah leher dan mengelusnya perlahan. Jiseo tidak tinggal diam, ia menyingkirkan tangan tersebut lalu menyuruhnya kembali fokus menyetir. Jiseo tidak mau pagi-pagi pria yang tidak lain adalah kakak kandungnya tiba-tiba menepikan mobilnya lalu menjamah tubuhnya seperti semalam.

"Aku akan menjemputmu nanti," katanya saat sampai di depan kantor Jiseo.

"Memangnya Seokjin Oppa tidak ada pemotretan?"tanya Jiseo.

"Aku bisa izin sebentar kan? lagipula Yoongi tidak akan marah jika aku menjemputmu," jawab lelaki tampan bernama Kim Seokjin tersebut.

"Emm ... bolehkah—"

DNAWhere stories live. Discover now