Matematika. Coba sebutkan satu kata yang pas untuk menggambarkan kata tersebut. Horor? Memusingkan? Bikin frustrasi? Bikin otak mendidih? Oke. Itu bukan satu kata. Karena satu kata tidak akan cukup untuk menggambarkan satu hal bernama Matematika. Kumpulan angka-angka yang berpadu menjadi rumus-rumus yang selalu membuatku harus mempunyai kesabaran superekstra ketika sedang memecahkan satu soal—dan malah mendapat jawaban aneh hasil imajinasi ngalor-ngidul yang padahal sudah menghabiskan waktu kurang lebih satu jam lamanya—adalah sensasi tersendiri saat mengerjakan Matematika.
Beralih dari aku yang seperti sudah tak punya harapan dengan jawaban di atas buku catatanku ini, aku melirik Risma yang terlihat sangat santai dan tenang tengah menyalin soal-soal di papan tulis.
Aku menaruh kepalaku di atas meja. Kok bisa ya gue nggak kena remed waktu itu? Lalu beralih menatap kedua teman sekelasku yang waktu itu tidak terkena remedial sama sepertiku. Sekarang, mereka berdua tampak serius mengerjakan soal-soal ini. Anak rajin.
Aku berpikir, apa mungkin waktu itu aku hanya beruntung? Apa waktu itu aku sedang hoki saja? Ah, mungkin rezeki anak sholeh. Haha.
"Tar, jangan ketawa sendiri gitu, deh. Gue merinding, nih."
Aku menoleh pada Risma yang masih sibuk mengerjakan soal-soal.
"Ris, gue bingung, deh."
"Bingung kenapa?" timpal Risma yang masih fokus pada bukunya.
Aku menegakkan tubuhku, menatap Risma dengan tatapan sok serius. "Kok bisa, ya, hasil UAS Matematika gue bagus, sama nggak kena remed? Padahal kan lo liat sendiri gue gimana kalo udah dihadepin sama soal-soal kayak gini. Ngerjainnya aja kalo mood gue lagi bagus, kalo enggak, ya... bodo amat. Sedangkan lo yang gue perhatiin rajin banget ngerjain soal-soal itu malah kena remed. Aneh, ya?"
"Lo waktu ngerjainnya bener-bener mikir apa asal tembak aja?" tanya Risma.
"Hmm... lebih banyak yang nembak, sih. Hehe." Aku nyengir, karena memang benar begitu faktanya.
"Ya udah, sih, itu rejeki lo. Mungkin jawaban nembak lo itu bener semua, 'kan?"
"Iya kali, ya. Hmm, kalo gitu gue nggak perlu belajar, ya. Toh, jawaban nembak aja gue nggak kena remed. Hahaha."
Untungnya, setelah memberi kami tugas, guru Matematika izin keluar sebentar, ada keperluan katanya. Jadi aku bebas untuk tertawa sekarang.
Risma menjitak kepalaku dengan pulpennya. "Bege! Jawabannya salah semua baru tahu rasa lo. Nggak malu lo sama Alder kalo nilai Matematika lo jeblok? Setahu gue, dia lumayan jago lho, kalo soal Matematika."
"Serius lo? Kata siapa?" tanyaku kaget. Aku hanya tahu Alder peringkat lima di kelasnya, tidak tahu kalau dia ternyata jago pelajaran Matematika.
"Serius. Temen SMP gue kan ada yang sekelas sama dia. Mulai sekarang lo kerjain tuh soal-soal yang udah terbengkalai tak berdaya sejak tadi." Setelah mengatakan itu, Risma kembali fokus pada buku catatannya lagi.
Aku menatap buku catatanku, yang aku perhatikan malah banyak coretan tidak jelas dan hampir memenuhi satu halaman, sedangkan soal yang terjawab hanya satu.
Aku menggenggam penghapus erat, mengembuskan napas dengan penuh semangat.
"Oke! Saatnya bertarung dengan angka-angka!"
***
Tak terasa bel istirahat berbunyi. Namun aku belum selesai mengerjakan semua soal Matematika tadi. Ada satu soal yang sangat membuatku kelimpungan. Aku menoleh pada Risma yang sudah santai memandangi handphone-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...