Diary hal. 7 – Bertemu Dayat, Selasa 11 Juli 2017
Jadi, aku ketemu sama dia tuh pas di rumah sakit. Aku yang baru saja lulus dan liburan berubah haluan jadi ojeknya Kak Anis. Sekarang dia tuh lagi sibuk bantuin orang kemo. Dia bukan dokter. Dia perawat.
Nah, aku ketemu sama mantanku dan pacar barunya di taman yang sedang aku nikmati udaranya. Basa-basi busuk mendengarkan betapa senangnya dia sekarang bisa mendapat kerjaan di apotek depan rumah sakit.
"Kamu udah ada pacar, Kro?" tanyanya nggak sopan. Nggak sopan karena aku masih jomblo semenjak dia putusin.
"Punya." Harga diriku lebih penting dari harga dirinya.
Lalu bla bla bla. Nggak guna, aku sih maunya kabur.
"Kita duluan, ya. Mau nganter Septi ke Giant. Dia mau belanja buah."
Kayak aku peduli aja. "Bye!"
Ciao adios, sayonara, au revoir, tschüss, vaarwel, calicong. Semoga mati di jalan.
Si Septi—sepongan tak internasional—menatap sweater yang aku kenakan. "Suer deh. Sweater yang lo pakek sekarang kece banget. Bahannya juga halus. Good on you."
Aku putar bola mata dalam hati.
Mana ada pacar baru mantan kita yang ikhlas kasih pujian.
Nah, ketemu yang aku maksud bukan sama mereka. Idih. Nggak penting amat. Emang siapa pula mereka sampai harus aku mention. Tapi ya karena mereka juga makanya aku bisa ketemu sama cowok itu.
Karena aku keki setengah mampus, aku nggak mau lagi berada di taman dan kabur ke salah satu ruangan yang sering dipakai sama Kak Anis dan perawat lain untuk istirahat. Ada TV dan tempat tidur di ruangan itu.
Aku masuk. Ketemu deh sama dia. Lagi tiduran sambil nonton serial adzab yang ada di MNC TV. Sekarang kisah anak yang menelantarkan Ibu dan Bapaknya.
Dia menoleh. Wajahnya pucat dan rambutnya cepak. Badannya nggak sekurus pasien yang tadi lagi Kak Anis bantuin kemo. Yang ini lumayan bugar. Sepertinya punya peluang sembuh yang besar.
"Elu adiknya Kak Anis, kan?" tanya si pucat. Dia menyodorkan tangannya padaku. "Gua Dayat. Salah satu pasien kanker yang Kakak elu urus."
Aku menyambut uluran tangannya. "Cokro."
"Cokro?" Dia tersenyum.
"Kedengeran udik?" tanyaku, duduk di sampingnya. Nggak merasa tersinggung. "Apapun makanannya, minumnya teh botol cokro."
Dia tertawa ngakak, sangat keras sampai aku terlonjak kaget. "Teh botol cokro kayaknya enak tuh."
"Emang. Lo nggak pernah minum teh botol cokro? Padahal banyak dijual di toko pembasmi hama sampingnya pestisida."
"Ntar gua beli." Dia menepuk-nepuk perutnya. Mungkin kesakitan akibat terlalu keras tertawa. Serius. Candaan yang aku buat tadi sangat lah receh. Emang ada orang yang bakal ketawa aku bercanda gituan?
Orang aneh.
"Gua pasien rhabdomyosarcoma stadium empat. Udah gua idap dari tiga tahun yang lalu. Gua tinggal nunggu mati aja. Gua nggak yakin gua bakal sembuh."
Aku menoleh, menatap wajah pucatnya yang bibirnya dihiasi senyuman percaya diri bercampur tegar. "Lo mau gue dateng pas pemakaman lo? Nambahin doa biar lo masuk Surga. Lumayan, kan?"
Dia lagi-lagi tertawa. "Ya. Please, come and see me. Gua seneng sama elu. Jadi temen gua aja, ya? Mau, kan?"
Aku mendengus. "Masa lo ngajak gue temenan sama yang udah mau mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...