Daftar Harapan 1 - Main Sepatu Roda

3.1K 381 20
                                    

Diary hal. 12 – Bersama Dayat, Rabu 12 Juli 2017

Kami beli sepatu rodanya di Sport Station yang ada di GI. Dua pasang sepatu hampir satu juta setengah. Padahal hanya dipakai satu kali. Dayat bilang nanti bisa kita sumbangin ke orang yang butuh. Atau bisa aku simpan kalau aku mau.

Mungkin yang kedua. Aku simpan aja. Kalau aku nggak ada uang, bisa aku jual. Pasti masih laku meski dijual 800ribu. Sepatu rodanya kece lho. Nggak tipu, no nego!

"Lo yakin bisa main sepatu roda? Ntar kalo kanker lo tiba-tiba aktif gimana?"

"Emang elu pikir kanker semacam serangan jantung?"

Aku mengedikkan bahu. Selama dia merasa dia bakal baik-baik aja, aku percaya sama dia. Asal dia nggak nyusahin aja ntar. Aku kan paling nggak bisa gendong orang pingsan. Temanku waktu itu pingsan aja aku pesan Gojek biar abang Gojek-nya yang angkut. Aku kurus masalahnya. Beratku hanya 50 kilogram.

"Ceker punya elu enak kagak?" Dia menghisap-hisap cekernya penuh penghayatan.

"Bilang aja lo mau ceker gue, kan? Ini gue belom makan karena gue simpen buat penutup. Lo sentuh ceker gue, lo bakal lihat diri lo dilindes truk."

Dayat menatapku dengan sorot hina. "Pelit lu. Pantes elu jomblo." Dia berdiri, meninggalkanku yang belum sempat membalas ejekannya. "Mang tambah ceker dua. Ama tambah lagi teh botol cokronya."

Aku mutar bola mata.

"Elu bisa kan main sepatu roda? Gua nggak ada waktu mau ngajarin elu ya. Kalo elu nggak bisa nontonin gua aja. Gua nggak lama. Cuman enam putaran."

"Terus ngapain lo beliin gue juga kalo nggak gue pakek? Gue pasti bisa kok!"

Main begituan kan mudah. Aku bisa main ice skeating. Pasti sama aja. Sok-sok merendahkan. Padahal dia sendiri nggak bisa berenang. Berenang kan gampang. Keponakanku yang baru umur lima tahun aja sudah jago. Seringnya rumah kami kena banjir. Tinggal di Jakarta Timur emang sial. Kena banjir mulu.

"Abis ini kita beli terang bulan, ya. Elu tau yang enak di deket-deket sini?"

"Gojek aja gampang. Yang di Gojek itu enak. Gue lupa namanya. Tapi kalo gue buka Gojek ntar pasti gue tau yang mana."

"Bagus. Yang rasa keju pisang. Jangan ada cokelat sama susu. Dan jangan terlalu lembek. Gua nggak suka. Agak lebih bikin crispy pinggirnya. Gituin di notes Gojek-nya ntar. Inget nggak lu?"

"Lo aja sana yang bikin. Ribet amat lo kayak Kakak gue."

"Halah, yang bikin juga bukan elu. Nulis gitu doang nggak bisa."

Kenapa sih aku mau-mau aja temenan sama dia? Sudah, lah! Nggak ada waktu buat mundur sekarang. Kak Anis juga sudah tahu aku akan menjaga Dayat. Lagipula kata Kak Anis, hidup Dayat nggak menentu. Bisa jadi dia meninggal besok. Atau malam ini. Kemo sudah nggak berpengaruh banyak pada kesembuhannya.

Salah satu alasan kenapa bokapnya Dayat memberi Dayat kartu kredit karena bokapnya Dayat sudah menyerah. Membiarkan Dayat menikmati masa-masa akhir hidupnya dengan membeli semua yang Dayat inginkan.

Beda dengan nyokapnya. Beliau masih memperjuangkan Dayat.

Dayat baru sembilan belas tahun. Dia bahkan belum menikmati masa kuliah dan menjadi mahasiswa baru.

"Lagu apa lagi yang biasanya disetel di stadion arena sepatu roda?"

Aku berpikir. Mengingat di film Whip It. "I Think We're Alone atau Raining Man."

"Oh, ya?"

Dia membuka aplikasi YouTube. Kepalanya mengangguk-angguk sembari menikmati alunan musik.

Daftar HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang