Diary hal. 38 – Bersama Dayat & Sega, Selasa 25 Juli 2017
"Lo nggak kuliah hari ini, Ko?" tanyaku pada Sega. Dia bilang, karena dia lebih tua, dia ingin aku memanggilnya Koko. Sebelumnya, aku nggak pernah memanggil orang lain dengan sebutan Koko. Rasanya menyenangkan ternyata. Koko Sega.
Sega mengangkat kepalanya dari layar laptop. Untuk ukuran orang Cina, mata Sega sama sekali nggak sipit. Dia memang putih, punya garis wajah oriental yang tegas, dan bibir tipis yang menggoda. Oh, aku sudah tanya role-nya.
Dia Top. Tapi aku belum tanya dia sudah punya pacar apa belum. Malu.
Lagipula, dia sepertinya nggak bakalan naksir padaku.
"Nggak," jawab Sega. Aku mengerjapkan mata, mengenyahkan lamunan nggak berguna soal naksir-menaksir. Aku harus sadar diri. Toh, aku juga nggak naksir sama Sega.
Aku hanya mengangguk untuk menanggapi jawabannya. Nggak mau stuck lebih lama di ruang perawat, aku keluar. Pergi ke taman, tempat biasa aku menunggu Kak Anis. Aku duduk di salah satu bangku panjang, berharap nggak ada yang mengganggu. Sayangnya, Tuhan sedang mengerjaiku. Aku didatangi lagi oleh dua orang itu.
"Nungguin Kak Anis, Kro?" tanya Evan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia selalu melakukan itu setiap kami bertemu dulu. Dia bilang, dia kelihatan keren setiap melakukannya. Aku akui, memang benar.
Aku berdiri dari tempat dudukku. "Nggak. Nungguin temen selesai kemo."
Septi yang berdiri di sebelah Evan menatapku dengan sorot menyelidik. Ew. "Kemo? Temen kamu ada yang kena kanker?"
"Iya. Temen baru. Ketemunya juga di sini." Aku membalas tatapan Septi. Daritadi dia nggak berhenti menatapku. Dia itu kenapa, sih? Bikin gerah aja. "Kalian berduaan mulu, ya? Romantis bener."
Septi langsung merangkul lengan Evan. Seakan-akan pacaran mode gay adalah hal yang biasa di muka umum. Dari bahasa tubuh Evan, aku tahu dia risih. Dasar cowok jalang! Si Septi maksudku. Aku yakin dia berpikir aku dan Evan sedang saling flirting. Duh! Ambil aja Evan. Aku nggak sudi balikan sama cowok yang nggak pengertian.
"Evan nih," tutur Septi dengan nada manja. Ugh! "Selalu nyuruh gue dateng ke apotek tiap dia lagi makan siang. Minta ditemenin makan. Padahal bisa makan sendiri."
Evan membuang pandangan ke arah lain. Aku yakin dia pasti malu. Bukan malu karena omongan Septi. Malu karena apa yang Septi katakan pasti bullshit.
"Lo sendiri gimana, Kro? Cowok lo mana, sih? Kok nggak pernah nemenin lo?"
Aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Ngapain di sini?" tanya suara baru di belakangku. Aku berbalik dan mendapati Sega. Cowok itu melempar pandangan pada Evan dan Septi.
"Nggak lagi ngapa-ngapain," jawabku. Apa kami akan melakukan adegan di film-film? Tahu kan apa yang aku maksud? Kalau iya, aku sangat senang. Soalnya begini. Tubuh Sega lebih tegap dan berotot ketimbang Evan. Itu tandanya aku punya pengganti yang lebih baik darinya. Nggak seperti dia yang malah punya banci seperti Septi.
Sega mendekat. Wanginya yang harum—aku yakin mereka berdua juga bisa mencium aroma Sega—membuatku merasa lebih tenang. "Aku cariin kamu ke mana-mana. Sebentar lagi Dayat selesai kemo."
Aku. Dia pakai aku?
Apa itu tandanya kami sedang melakukan apa yang aku pikirkan? Apa ada seruan action ketika aku mabuk akan aroma Sega?
"Tadi rencananya aku cuman mau nyari udara seger bentar. Ini udah mau balik, tapi ketemu sama mereka." Aku berujar, mendekat ke Sega.
Sega mengalihkan matanya pada Evan dan Septi. "Temen kamu, Sayang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...