Diary hal. 71 – Bersama Dayat, Senin 28 Agustus 2017
Ternyata di hospice care kami boleh rujakan bakso. Malah, di hospice care Dayat bisa minta apa saja. Program hospice care di Indonesia baru dimulai dari bulan Maret. Ini tergolong masih baru. Aku pikir hospice care tempatnya menyeramkan dan gitu deh. Aku salah. Kamar inap Dayat sebagus hotel. Dayat benar-benar dimanjakan di sini.
Sayangnya, minggu lalu kondisi Dayat drop. Dia nggak bisa berdiri. Bahkan duduk pun sudah nggak bisa. Dia hanya bisa berbaring. Memandang langit dari jendela kamar inapnya. Tiga hari yang lalu Dayat meminta kedua orangtuanya agar aku nggak boleh masuk. Bodohnya Dayat. Dia harusnya tahu aku adalah orang paling gigih sedunia.
Setiap hari aku berada di sisi Dayat. Melihat perkembangannya. Kami menghabiskan waktu sambil menonton semua film Benyamin Sueb yang aku download ilegal.
Dan hari ini, aku akan mengajak Dayat menonton Duyung Ajaib.
Aku mendorong pintu hingga terbuka. Senyumanku yang sedaritadi tertampil di bibir, sirna seketika saat mendapati Dayat berbaring dalam keadaan aneh. Aku melangkah panjang, memperhatikan wajahnya. Dokter Andrei bilang, Dayat bisa meninggal kapan saja. Aku nggak mau dia meninggal hari ini. Jangan sekarang!
Ketika kelopak mata Dayat bergerak, aku menghela napas lega. Terduduk lesu. Ingin rasanya sujud penuh rasa syukur.
"Lu... pikir... gua... mati?" tanyanya dibalut nada ngantuk.
Aku mengangguk. Meremas tangannya yang dingin. "Gue udah download-in Duyung Ajaib. Di YouTube nggak ada. Gue ampe nyuruh salah satu penulis blog yang doyan ngoleksi film Benyamin ngirimin filmnya ke e-mail gue."
Pelan, senyumnya yang indah muncul. "Bagus. Gua... mau nonton sekarang."
Aku mengeluarkan tabletku dari dalam tas. Hari ini harusnya aku daftar ulang di Universitas Jayabaya. Ibuk pasti marah besar kalau tahu aku malah ada di sini.
"Gimana perasaan lo?" tanyaku, membaringkan kepalaku di bantalnya yang empuk.
Dayat berdeham. "Makanya gua males... lu... ke sini. Lu... selalu nanya... itu. Dan gua bakal... jawab... sama."
Aku mencium pipinya. "Sori."
Kami menonton aksi Benyamin dalam diam. Aku tahu waktu kami sudah nggak banyak lagi. Aku juga tahu aku belum siap kehilangan dirinya. Tapi melihat dia tersenyum karena Benyamin, aku senang.
"Dalam tidur gua tadi, gua minta sama Tuhan buat dikasih satu hari lagi supaya bisa ketemu sama lu." Ucapannya lancar dan seperti Dayat yang aku kenal. "Badan gua rasanya sakit semua. Tapi pas lu dateng, ngelihat lu di sini, sakitnya hilang."
Aku menopang dagu di depan wajahnya. "Gue kan emang pain killer terbaik lo, baby."
"Abis denger lu bilang gitu, gua baru sadar kalo kedengerannya emang norak." Kami tertawa. Dayat mendorong kepalanya, menciumku sebentar di bibir. "Gua mau duduk. Bantuin. Nggak enak baring terus."
"Tapi kan lo nggak bisa—"
"Bantuin."
Aku berdiri. Menyelipkan kedua tanganku di bawah punggungnya. Pelan, aku pun mengangkat tubuhnya agar ke posisi duduk. Kedua tangan Dayat berpegangan pada sisi tempat tidur. Nggak lama, Dayat duduk. Nggak tegak, memang. Tapi dia duduk. Itu tandanya kondisi Dayat nggak seburuk yang aku pikirkan.
"Lo bisa duduk!" seruku senang. Menciumi pipinya hingga basah.
Dayat terkekeh. Mengelap pipinya dengan ujung baju. "Gua udah bisa daritadi malem. Emang tiap bangun tidur, gua ngerasa kayak lagi melayang. Beberapa puluh menit, pasti mendingan. Lu nggak perlu kuatirin lagi kondisi gua. Gua bakal berusaha hidup sehari lagi, dan hari-hari selanjutnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...