Diary hal. 23 – Bersama Dayat, Minggu 16 Juli 2017
"Berenang di mana kita hari ini?" tanyaku, mengeluarkan motor dari parkiran.
"Mau gua yang bawa motornya? Udah lama gua kagak ngendarain motor." Dayat menatap penuh damba motor Vario merah kepunyaan Kak Anis. "Sebentar aja. Ampe Mall Arion. Abis itu elu lagi yang bawa. Boleh, Cok?"
Aku berkacak pinggang. "Ini bonus dari daftar harapan lo yang ketiga?"
Dayat mengangguk antusias seperti anak kecil. "Kalo gua kesakitan, gua bakal kasih tau elu, Cok. Rasa sakitnya kan nggak tiba-tiba dateng. Ya?"
"Kalo lo bikin ini motor tergores, gue yang bakal digorok sama Kak Anis." Aku berpikir keras. Namun lama-lama luluh juga karena Dayat memasang raut menyedihkan. "Boleh deh! Tapi ampe Mall Arion, ya? Nggak boleh lebih. Sampe depan halte busway pun nggak boleh. Nyampe depan Arion, gantian!"
"Siap, bawel!"
Dayat langsung naik ke atas motor. Memakai helm dan menyalakan motor. Aku naik ke boncengan. Meminta maaf berkali-kali ke Tante Lulu di dalam hati. Aku seharusnya menjaga Dayat dan melarang permintaan Dayat yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Tapi aku kan nggak mau berdebat. Selama aku kenal Dayat, walau belum lama, dia bukan jenis manusia yang gampang menyerah.
Kami melintasi jalan Boulevard-Kelapa Gading yang lenggang—untungnya. Dari spion aku bisa melihat senyuman Dayat yang sedaritadi tertampil. Dia benar-benar senang.
"Jangan ngebut!"
"Ini kan cuman empat puluh!" serunya keras mengalahkan deruan angin. "Lagian sepi ini. Elu nggak bakal gua bawa mati bareng, Cok. Elu tenang aja."
"Lo puas?"
"Belom!" Dayat menghindari lubang dengan cekatan. "Gua sih maunya lebih lamaan. Udah lama gua nggak nikmatin bawa motor. Terakhir setahun yang lalu. Pas gua kabur dari rumah karena udah nggak mau kemo."
Aku memegang pundak Dayat. Anehnya, pundak Dayat tetap terasa liat dan kuat. "Kok sekarang kemo lagi? Kabur lo nggak lama dong berarti?"
"Emang!" seru Dayat ditemani tawa. "Gua kabur cuman dua belas jam. Papa gua langsung tau gua ada di mana."
"Di mana emang?"
"Di Jungle-nya Blok M. Padahal abis dari situ rencananya gua mau lanjut ke Danau Sunter. Banyak kenangan gua sama Kiky dan Jerro di sana." Itu kedua sahabatnya Dayat. "Papa gua yang nggak pernah gua lihat nangis, waktu itu nangis di dalem mobil. Papa gua bilang kalo gua nggak mau dikemo lagi nggak apa-apa, asal gua jangan ngilang dari pandangan mereka. Efek dari anak tunggal, mungkin."
"Anak tunggal yang kena kanker testis dan prostat stadium empat yang hidupnya nggak tau sampe kapan. Pastinya mereka kuatir."
"Dulu gua masih stadium tiga. Gua stadium empat baru dari lima bulan yang lalu."
"Ya, ya. Ini bentar lagi mau nyampe Arion!" Aku menunjuk tempat di mana dia harus berhenti. "Di depan tukang bakso itu aja. Majuan dikit."
"Rumah lu kan deket sini. Biar gua aja dah yang bawa." Ngototnya. Memperlambat motor, tapi tetap nggak ada tanda mau berhenti. "Gua nggak ngerasa sakit sama sekali lho. Suer. Lu jangan perlakuin gua kayak orang penyakitan."
Aku menepuk pundaknya. Kami sudah melewati Circle K. Sebentar lagi kami sampai di Bank Mega. "Lo kan emang penyakitan. Lo kanker testis. Lo nggak ada peluang sembuh. Lo sebentar lagi mati. Sori-sori aja kalo gue nggak ngeistimewain lo."
"Gua malah makin nggak mau berhenti abis denger lu ngomong kejam begitu." Dayat menarik gas hingga motor meraung. Aku nggak pernah takut dibawa ngebut. Tapi kali ini aku gemetaran. Aku takut motor Kak Anis rengsek. Aku bakal kena sembur. Mending jatuh dari motor aku mati. Kalau aku masih hidup?
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...