Daftar Harapan 7 - Bikin Puisi

1.9K 339 52
                                    

Diary hal. 51 – Bersama Dayat, Jumat 28 Juli 2017

Apa yang sebenarnya terjadi pada Dayat? Kenapa dia jadi begitu? Aku dulu pernah baca curhatan seseorang di page Yaoi yang ada di Facebook. Orang itu bilang bahwa sahabatnya yang straight tiba-tiba menyukainya. Sahabatnya sih bilang sudah lama merasakan hal aneh, setelah dia cari tahu ternyata hal aneh itu adalah rasa suka ke si orang itu. Ke si gay, maksudku. Apa Dayat juga seperti itu?

Jujur saja, ketika aku baca curhatan itu aku hanya menganggapnya khayalan. Mana ada cowok straight sekonyong-konyong menyukai cowok. Atau aku saja yang masih terlalu nggak percaya? Kalau Dayat memang menyukai cowok, kenapa dia nggak membalas saja perasaan Sega?

"Ngelamunin apaan?" tanya Dayat, memecah keheningan kamarnya. Dari semenjak aku datang, suasana kamar ini benar-benar canggung. Tadi aku sempat ingin pulang. Sayangnya, bila aku begitu, tandanya aku memang ada perasaan untuknya.

Yang mana, itu nggak betul. Aku menganggapnya teman. Teman yang akan mati.

Aku mengganti channel TV. Berlagak nggak pedulian seperti yang biasa aku tampilkan ke orang-orang. "Boring. Emang selama lo hidup nggak pernah disuruh bikin puisi?"

Dayat turun dari kursinya. Jantungku deg-degan norak lagi saat dia mendekat. Aku meremas remot TV kuat-kuat agar nggak berdiri dan menghindarinya. Kenapa sih Dayat bertingkah seolah omongannya kemarin nggak ada gunanya?

"Pernah. Tapi nggak pernah yang ada maknanya. Gua pengen bikin puisi yang buat orang lain ngerasa dia penting di hidup gua meski gua udah nggak ada."

"Buat Nyokap lo? Ya, udah. Bikin sana. Gue tungguin. Bisa abis ini kita ke McD?"

Dayat duduk di depanku. Kenapa wajahnya masih saja menarik walau pucat begitu? Aku nggak pernah memperhatikan wajah Dayat betul-betul sebelumnya. Serius. Dia memang nggak ganteng seperti Sega. Atau keren seperti Evan. Wajahnya sudah banyak ada di wajah cowok Indonesia lainnya. Kenapa aku bisa tertarik?

"Buat Mama. Papa. Well, mungkin buat Sega. Yang paling spesial sih buat lu, Cok."

"Jangan kayak gitu!" bentakku sebal. Aku nggak suka perasaan deg-degan ini. Dia bilang dia nggak mau ada yang menangisi kepergiannya kecuali kedua orangtuanya. Jika aku kehilangan dia nanti dan posisinya dia milikku, aku akan menangisinya.

Aku juga benci hal menye-menye. Aku juga benci menangis. Sebab, bila aku menangis, aku lama menghentikan air mataku. Itu lah kenapa aku selalu menganggap semua hal membosankan dan nggak berguna. Aku nggak mau terlalu terikat dengan orang lain. Meski aku suka mengatakan hal-hal konyol, di dalam hatiku, aku nggak akan benar-benar melakukannya. Aku susah lepas dari orang yang telah terikat dekat padaku.

Seperti Ujang dan Butet. Sebau busuk apapun mereka, sekampung apapun mereka, semenyebalkan apapun mereka, aku nggak ingin lepas dari mereka. Aku nggak suka menjalin persahabatan kepada banyak orang. Aku benci ditinggalkan.

"Lo sendiri kan yang bilang nggak mau denger jawaban Diana karena lo nggak pengen dia nguatirin lo setiap hari. Lo juga bilang pengen mutusin semua tali pertemanan yang lo jalin ke orang-orang biar mereka nggak sedih pas kehilangan lo. Dan beberapa hari yang lalu lo bilang, lo bakal nyuruh Sega buat nggak ketemu sama lo lagi. Kenapa lo malah giniin gue? Lo pikir selama ini, mentang-mentang mulut gue kejam, gue bakal nggak peduli sama kepergian lo, hah? Gue nggak suka lo terlalu terikat ama gue, Yat!"

Dayat diam, menatapku tepat di mata. Aku bisa merasakan dia terluka.

"Karena... kalo gue terikat sama seseorang Yat, gue nggak pengen lepas dari orang itu. Lo mau tau kenapa gue mutusin Evan? Karena gue nggak mau terlalu jauh masuk ke dunianya. Karena seperti yang dia bilang, dia anak tunggal dan kedua orangtuanya mau Evan cepet-cepet nikah. Di situ gue tau, masa depan gue dan Evan nggak ada. Gue nggak mau menjalin suatu hubungan yang ujungnya semu. Paham?"

Daftar HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang