Daftar Harapan 10 - Melihat Matahari Terbenam Dari Mars (Nggak Akan Terwujud)

3.5K 410 145
                                    

Diary hal. 77 – Tanpa Dayat, 1 September 2017

Dayat meninggal di hari paling indah. Jumat.

Pagi itu aku datang membawa sekresek buah rambutan. Buah yang ingin sekali dia makan. Aku mencari buah rambutan di semua toko buah. Aku menemukannya di Pasar Tanakarya. Setidaknya, sebelum Dayat pergi, dia sudah mencicipi buah favoritnya.

Sayangnya, aku telat.

Ketika aku datang, Tante Lulu dan Om Wandi duduk di bangku depan kamar Dayat. Mereka mendongak saat aku berdiri di hadapan mereka. Ada bekas tangis di mata serta pipi mereka. Kala itu aku mengabaikannya. Aku bilang ke diriku sendiri bahwa Dayat masih hidup. Aku ingin memberikan rambutan itu padanya.

Harapan itu sirna ketika suara bergetar Tante Lulu memberitahuku. "Dayat udah nggak ada sama kita lagi, Kro. Dia meninggal satu jam yang lalu."

Aku meremas kuat-kuat pegangan kresek, hingga bisa kurasakan kuku jariku menusuk telapak tangan. Rasanya perih. Sakit. Tapi nggak sesakit hatiku kehilangan Dayat. Sambil menahan nyeri di hati, aku masuk ke dalam kamar. Mendapati Dayat sedang berbaring lemas di atas kasur. Terlihat damai.

Bak tertidur.

Bunyi kresek dan rambutan yang menghantam lantai menggema di dinding kamar yang terasa dingin dan sepi. Aku maju mendekati jasad Dayat. Ingin menggucang tubuhnya agar dia bangun. Tapi aku sudah menyuruhnya untuk pergi jika Tuhan mengajaknya pergi. Maka aku hanya berdiri di sampingnya. Menatap pilu.

"Gue bawain lo rambutan," gumamku, menggigit bibirku keras-keras. Nggak ada lagi guratan letih di wajahnya. Rona wajahnya pun cokelat, bukan pucat. "Lo bilang lo mau makan rambutan. Sejam lo meregang nyawa, gue lagi sibuk cari rambutan di pasar. Kalo gue tau lo bakal pergi, gue bakal di sisi lo. Atau lo meninggal dalam tidur?"

Aku naik ke atas kasur. Merebahkan kepalaku di atas dadanya. Melingkarkan tangan di atas perutnya yang sudah nggak naik-turun tanda dia bernapas. Nggak ada lagi detak jantungnya yang harmonis. Dayat sudah pergi. Dia sedang di jalan bersama Malaikat. Membawanya pergi ke Surga.

"Pergi, lah." Aku berbisik ke telinganya. "Hati-hati. Nggak usah lihat ke belakang. Kecuali kalo lo sekarang lagi nontonin gue. Nunggu antrian masuk ke akhirat. Sesuai janji gue ke lo, gue bakal baik-baik aja. Gue nggak akan nangis."

Aku mencium pipinya, lama dan merindu.

"Nanti rambutannya biar gue makan sendiri. Selain manggis, gue juga suka rambutan. Nggak sampe jadi favorit gue emang. Tapi gue suka. Lo jangan marah, ya?"

Aku mengelus leher jenjangnya. Mengelus dadanya. Mengelus tangannya yang dingin.

"Gue bakal kangen banget sama lo. Banget, banget. Selamat jalan, Yat. I love you."

Dayat akan dimakamkan siang ini. Rumahnya yang biasanya sepi kini ramai oleh pelayat. Semua teman SMA-nya datang. Sesuai harapan Dayat, nggak ada satu pun temannya yang menangis. Kecuali Diana dan Sega. Tapi nggak lama. Mereka bisa menguasai diri setengah jam kemudian.

Aku duduk menjauh dari kerumunan. Om Wandi dan Tante Lulu berangkulan di samping peti Dayat. Aku memasang earphone di telinga. Mendengarkan lagu favorit Dayat. Feel Good Inc.-nya Gorrilaz.

Yang penting aku sudah mengucapkan salam selamat tinggalku padanya. Aku nggak bisa berlama-lama memandang jasadnya. Aku bisa-bisa mengingkari janjiku sendiri. Aku nggak boleh menangis. Siapa tahu Dayat masih ada di sekitar sini. Dia pasti sangat berharap agar aku nggak meneteskan air mata. Aku tahu dia akan sedih bila aku juga sedih. Aku nggak mau itu.

Sega duduk di sampingku. Tangannya yang besar menggenggam tanganku.

"Lo nggak apa-apa?"

Aku tersenyum kecil. Dayat pasti ingin melihat aku tersenyum. "Gue baik-baik aja. Lo sendiri gimana? Tadi gue lihat lo nangis."

Daftar HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang