Diary hal. 17 – Bersama Dayat, Jumat 14 Juli 2017
Kami akan pergi ke Pasar Seni Ancol.
Nyokap Dayat—Tante Lulu—berpesan agar Dayat jangan terlalu capek. Jika Dayat lelah, langsung suruh baring dan beri air putih. Aku mengingatnya agar nggak membuat anak orang mati. Nanti disuruh tanggung jawab lagi. Mending tanggung jawab cewek hamil deh daripada orang mati.
Dayat baru selesai kemo jam setengah dua belas. Sambil menunggu, aku memainkan Cookie Run di HP. Sesekali aku menoleh ke Dayat. Cowok itu tergeletak nggak berdaya di kursi malasnya. Infus menghujam kulitnya yang agak membiru. Dia terlihat sangat lelah dan menderita. Aku paham kenapa Dayat membenci kemo.
Selesai Dayat kemo, aku memesan GrabCar. Nggak boleh naik motor hari ini. Aku memesan Grab agar Dayat bisa beristirahat selama perjalanan ke Ancol.
"Lo masih mau muntah?" tanyaku, kami masih menunggu Grab-nya datang.
Dayat menggeleng lemah.
"Awas ya kalo lo muntah di mobil. Gue nggak mau ganti rugi."
Senyuman Dayat tersungging di bibirnya yang pecah-pecah. "Gua bakal kasih tau elu kalo mau muntah. Elu bawa kresek, kan?"
"Bawa, Bos!" Aku membuka postman bag-ku dan memperlihatkan isinya pada Dayat. "Pokoknya jangan sampe lo muntah di mobil!"
"Iye, iye. Bawel amat lu, ngondek!"
Aku menyikut pelan perutnya. Dia tertawa ditemani batuk kecil. Aku menepuk belakang tubuhnya. Meski dia punya badan yang bugar, aku tetap bisa merasakan tulang punggungnya. Tadi aja waktu Dayat membuka kaus kaki, tulang-tulang yang menyambung pada jari kakinya terlihat sangat jelas.
Efek kanker memang mengerikan.
"Elu jangan ampe kena kanker, Cok. Beneran nggak enak. Tiap elu lagi di kemo, kayak ada jarum yang nusuk-nusuk badan lu. Abis kemo lebih parah lagi. Mual, nggak napsu makan, pusing, bah! Parah. Awal-awal gua kena kanker, gua ampe nggak bisa bangun semingguan. Mau kencing sakit, mau buka mata sakit, cancer is fucking asshole!"
"Kanker kayak nama mantan gue yang nyelingkuhin gue itu." Hanya karena hal receh itu lah Dayat tertawa. Rona lelah wajahnya perlahan digantikan rona ceria. "Itu Grab kita. Kuy! Master Dayat sudah siap melukis Diana."
"Kok suara lu kayak ngejek gitu, ya?"
"Nggak ngejek, Yat. Gue cuman penasaran aja. Hasil lukisan lo ntar mirip Diana apa lebih mirip Jailangkung. Ada sebagian orang yang harusnya sadar lukisan mereka buruk rupa. Macem yang mau lo lakuin sekarang."
"BODO AMAT!"
Kami sampai di Pasar Seni Ancol satu jam setengah kemudian. Tempatnya nggak rame karena ini masih jam satu siang. Mana hari Jumat pula.
Setelah berdiskusi tentang harga dan segala macamnya, kami dituntun ke bungalow yang ada di dekat kolam ikan koi. Mas Kayan siap mengajari kami jika kami bersedia. Karena aku sadar hasil lukisanku akan berakhir di tempat sampah yang mana tersangkanya pasti Ibuk, aku menolak. Sedangkan Dayat akan minta masukan setelah lukisannya jadi. Mau-maunya dia deh.
Memandang kanvas putih bersih di hadapanku, aku nggak tahu harus melukis apa. Asal-asalan, aku mulai menggores warna hitam di kanvasnya. Satu jam berlalu, yang terbentuk hanya kepalanya. Sedangkan Dayat sangat menghayati. Tadi saja aku sempat melihat dia memberikan lukisannya pada Mas Kayan. Tapi dia kembali dengan tangan kosong. Pasti lukisannya akan diolah jadi pupuk.
Sekarang dia sedang membuat lukisan baru.
Akhirnya aku berhasil melukis bagian bawahnya. Nah, kece!
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...