Diary hal. 30 – Bersama Dayat, Sabtu 22 Juli 2017
Sekitar lima hari aku nggak bertemu Dayat. Selesai dia menangis sore itu, aku cepat-cepat mengantarnya ke rumah sakit. Dia kedinginan dan kelelahan. Tante Lulu bilang untuk nggak membiarkan Dayat beraktivitas berlebihan beberapa waktu. Aku mengiyakan karena aku nggak mau jadi penyebab kematian Dayat.
Hari ini Dayat mengirimku pesan, menyuruhku datang ke rumah sakit. Maka aku datang secepat The Flash. Aku masuk ke kamar inapnya dan dia nggak ada di sana. Aku menuju ke ruang perawat, dia juga nggak ada. Berarti lagi kemo.
Aku mengintip di jendela, di sana lah dia. Duduk bersandar dengan mata terpejam. Aku masuk. Kak Anis mengelus pundakku seraya aku melangkah ke tempat Dayat.
Pelan takut membangunkan, aku menaruh tanganku di atas pergelangan tangannya. Matanya terbuka, menatapku.
"Bentar lagi," ujarnya serak. Suaranya berbeda dari yang aku kenal. "Ntar juga suara gua balik lagi kayak kemarin. Elu kalo heran kelihatan amat, Cok."
Aku menarik tanganku dari pergelangan tangannya. "Mau ngelakuin daftar harapan lo hari ini kita?"
Dia mengangguk.
"Minta maaf ke Sega, kan?"
Ada benjolan baru di dekat leher Dayat. Di sekitaran benjolan, terdapat ruam-ruam biru keunguan. Aku ingin menyentuh benjolan itu. Namun aku takut itu sakit ketika disentuh. Maka aku menurunkan tanganku.
"Iya." Dia mencoba menegakkan tubuh. Aku langsung menahan pundaknya. "Gua nggak apa-apa, Cok. Hampir semingguan baring di kasur, gua ngerasa lebih baik. Lu nggak usah kuatirin gua."
"Idih. Siapa juga yang nguatirin lo. Gue nggak mau aja ngelihat lo tiba-tiba mimisan. Gue nggak takut darah, gue cuman nggak suka ngelihatnya."
Dayat tersenyum.
"Terus kalo gua tiba-tiba muntah darah, lu pasti kabur ninggalin gua. Betul?"
"Ya, pasti!" sahutku. "Lo mau tau kenapa gue gay?" Dia mengangguk. Matanya penuh rasa penasaran. "Karena gue nggak mau nikah dan ngelihat pembalut istri gue yang ntar penuh selai stroberi. Kan siapa tau gue dapet istri jorok yang buang pembalut sembarangan di tempat sampah nggak dibungkus kresek dulu. Tuh kayak betina itu!"
Aku menunjuk Kak Anis yang sedang melepas infus dari tangan seorang pasien ibu-ibu. Sadar diperhatikan, Kak Anis menoleh ke arah kami. Aku langsung buang muka. Bosan setiap hari melihat wajahnya di rumah.
"Emang lu nggak mens?" tanya Dayat kurang ajar. "Gua siap kok beliin lu softex."
"Kalo lo lagi nggak berdaya gini, udah gue pelintir kepala lo, Yat."
Dayat tertawa. Aku benar-benar senang mendengar tawanya kembali terdengar. Waktu dia keluar dari kamar mandi sehabis menangis kala itu, raut wajahnya benar-benar datar. Bahkan dia nggak mau menatapku. Sama sekali. Aku nggak suka Dayat yang seperti itu. Rasanya asing dan jauh.
"Gimana isi permintaan maaf lo ke Sega ntar?" Aku menarik kursiku mendekat ke Dayat. Aroma obatnya sangat menyengat, bila boleh jujur. Tapi ini Dayat. Sebentar lagi mati, jadi aku harus baik padanya. Nyinyirnya sesekali aja.
"Yah, minta maaf." Dayat mengerutkan keningnya. Terlihat ragu. "Terakhir ketemu pas dia ke sekolah untuk ngambil uang kasnya. Habis gua ludahin dan hina-hina, dia pindah sekolah. Ke Bogor. Kami sempet saling lihat, dan gua bisa ngerasain rasa benci dari dia. Gua nggak yakin dia bakal maafin gua."
"Dia bakal maafin lo kok. Kemungkinannya sebanyak empat puluh persen."
Dayat mendelik. Jengkel karena aku membuatnya down. Padahal nggak tuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...