Diary hal. 59 – Bersama Dayat, Sabtu 12 Agustus 2017
Selama dua mingguan ini kami memang memutuskan untuk nggak melakukan sisa di daftar harapan Dayat. Aku berbohong di spoiler alert daftar harapan ketujuh. Aku bilang begitu karena aku nggak terlalu berharap kami jadian kala itu. Sekarang, aku malah senang kami menjalin hubungan.
Dayat pacar yang baik. Dia benar-benar menepati omongannya. Dia berusaha keras agar bisa sembuh. Dokter Andrei sampai takjub dengan kegigihannya Dayat. Setiap Dayat sedang dikemo juga diradiasi, aku selalu ada di sampingnya.
Kami memang nggak pacaran seperti orang normal. Kami lebih banyak menghabiskan waktu berduaan di rumah sakit. Selagi Dayat dikemo, aku akan membacakan cerita-cerita lucu yang ada di Wattpad. Kami makan siang bareng di kantin rumah sakit. Rujakan bakso di pinggir jalan—diam-diam pegangan tangan saat jalanan sepi. Bercumbu di kamarnya selagi menonton Riverdale.
Selama dua minggu kami pacaran, hanya sekali kami jalan ke tempat ramai. Nonton di Blitz GI, duduk paling atas pojok kanan. Di mana aku bisa menyandarkan kepalaku di pundak kurusnya yang nyaman. Aku senang dengan gaya pacaran kami.
Sangat sempurna tanpa harus melakukan hal-hal romantis berlebihan.
"Lo nggak dikemo hari ini?" tanyaku, kami lagi siap-siap pergi ke Cibinong. Sega bilang ada sirkuit motocross di sana. Kami tinggal sewa motornya. Juga orang yang ahli. Dayat bilang, masalah biaya jangan dipikirkan. Om Wandi juga bilang begitu.
Dayat menutup ritsleting tasnya. "Nggak, lah. Masa kemo mulu."
"Ah, masa rehat." Dokter Andrei pernah bilang begitu minggu lalu. Itu sebabnya kami bebas pergi dari pagi sampai malam. "Besok dikemo, kan?"
"Nggak. Lusa. Kita nginep sehari di Cibinong." Dayat memelukku. Mengecup pipinya dengan bibirnya yang basah. Kini dia selalu menjilat dulu bibirnya sebelum memberiku kecupan atau ciuman. "Berduaan. Dingin-dinginan bareng."
"Emang Cibinong dingin?"
Dayat mengedikkan bahunya. "Emang Cibinong beda sama Puncak? Kan sama-sama di Bogor. Iya, kan?"
"Oh, my God. Gue baru tau kalo pacar gue idiot." Kami tertawa. Aku melepas pelukan eratnya agar bisa siap-siap. Di bawah Om Wandi sudah menunggu. "Lo udah booking hotel? Kok gue nggak tau lo udah ada mesen tempat kita nginep? Kan apa-apa kita selalu berdua. Kecuali pas lo mandi."
"Sebenernya, habis dari main motocross, kita lanjut ke puncak." Dayat nyengir. "Mama yang mesenin tempatnya. Paviliun gitu. Bukan hotel atau villa. Tempatnya bagus, kata Mama. Adem. Kita bisa dingin-dinginan bareng. Kalo lu kedinginan biar gua angetin."
"Modus." Aku berbalik agar Dayat nggak melihat senyuman bahagiaku. Oke. Aku mau jujur lagi. Aku senang diperlakukan dengan romantis.
Di dalam mobil, Dayat duduk di depan agar Om Wandi nggak merasa kami perlakukan sebagai supir. Aku senang melihat Dayat dan Om Wandi banyak bicara. Mereka bercerita tentang masa kecil Dayat. Tentang bagimana Om Wandi bertemu Tante Lulu. Aku yang ada di kursi belakang mendengarkan kisah mereka. Om Wandi dan Tante Lulu sangat bersyukur ada perkembangan baik pada kondisi Dayat.
Tante Lulu sudah mengetahui tentang hubungan kami. Dayat yang cerita. Sedangkan Om Wandi aku belum tahu. Mungkin beliau tahu tapi nggak ingin mengatakan apa-apa. Selama aku dan Dayat baik-baik saja, aku nggak peduli dengan omongan orang lain. Ibuk dan Bapak serta Kak Anis melarangku untuk terlalu menaruh hati pada Dayat. Mereka memberiku peringatan bahwa kondisi Dayat bisa memburuk seketika.
Jika hal itu memang terjadi, aku sudah siap. Kemo dan radiasi memang nggak bisa langsung menyembuhkan Dayat begitu saja. Tapi aku percaya dia akan sembuh. Kami akan menjalin hubungan ini lebih lama daripada masa hidup seekor kura-kura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...