Diary hal. 46 – Bersama Dayat, Kamis 27 Juli 2017
Hari Rabu kemarin, kami benar-benar hangover. Benar nggak istilahnya begitu? Yah, intinya. Aku nggak bisa ngapa-ngapain kemarin. Kami bertiga ketiduran sampai sore. Sekitar jam delapan pagi kami terpaksa bangun sebentar. Kami kan harus menyembunyikan botol vodka-nya agar nggak ketahuan Tante Lulu. Itu pun kami mengerjakannya setengah sadar.
Bangun-bangun sudah jam lima sore. Sega mengantarku pulang. Di rumah aku tidur lagi. Baru sekarang aku bangun. Masih sedikit pusing, tapi lebih mendingan. Aku minum air putih banyak-banyak. Ternyata alkohol bikin dehidrasi berkepanjangan. Namun aku nggak menyesal. Aku menyukainya. Bukan mabuknya.
Melainkan menghabiskan waktu dengan mereka berdua.
Oh, iya... setelah film IT itu, apa ada yang terjadi denganku dan Dayat? Atau dengan Sega? Aku nggak bisa mengingatnya. Aku hanya merasa..., ada yang terjadi.
Ciuman. Itu yang terjadi. Apa Sega menciumku? Dia sangat mabuk malam itu. Dia nge-shot tiga kali, menghabiskan delapan gelas. Aku hanya satu shot dan tiga gelas.
Atau aku berciuman dengan Dayat?
LOL. Nggak mungkin. Dia kan mencintai Diana. Diana perempuan. Sega saja sampai dia ludahi. Apalagi aku. Pasti langsung disiram ingus.
Nggak, nggak. Ciuman yang terjadi pasti hanya ada dalam mimpiku. Sega nggak ada tuh memperlihatkan gelagat tertarik atau apa padaku. Tentu saja. Aku yakin dia pasti masih mencintai Dayat. Dan Dayat juga nggak mungkin, seratus persen aku jamin.
Ya. Itu hanya ada dalam mimpi.
"Kamu nggak jalan-jalan sama, Dayat?" Ibuk menggeserku menjauh dari kulkas. Beliau mengambil Teh Pucuk yang distok oleh Bapak.
Aku duduk di kursi meja makan. Berusaha nggak kelihatan bahwa aku habis mabuk. Ibuk dan Bapak akan membawaku ke Bantar Gebang dan membuangku di sana.
Aku masih sayang nyawa dan tinggal di rumah ini. "Ntar agak sorean."
Ibuk meneguk habis tehnya. Beliau duduk di kursi di sebelahku. "Apa lagi yang dia mau lakuin, Nak? Bukan yang aneh-aneh, kan? Nggak ngajakin kamu terjun dari sutet? Nggak ngajakin kamu bikin tato?"
"Dia nggak ada bikin harapan yang ekstrim kok, Buk. Harapannya masuk akal semua." Kecuali yang nomor sepuluh, tapi aku nggak bilang. Biarin aja itu jadi harapan konyolnya Dayat. "Hari ini dia mau nonton layar tancep, Buk. Di mana, ya?"
"Ah, di Janur Kuning. Tau perempatan ke arah Jatinegara? Nggak jauh dari halte busway ada jembatan masuk ke gang. Itu di situ biasanya ada. Di lapangan Janur Kuning. Kalo kamu nggak tau jalannya, pakek aja gugel mep."
"Hari apa aja, Buk? Hari ini bakal main nggak, ya?"
Ibuk menopang dagu. "Tiap jam delapan mereka mulai, Kro. Biasanya film-filmnya Benyamin Sueb. Di Janur Kuning kan masih banyak orang Betawi."
"Iya, hari apa aja Buk mainnya?" Yang ditanya apa, jawabannya apa.
"Hari ini main, Kro. Tiap Senin sampai Jumat kok. Ibuk sama Bapak kamu dulu doyan ke sana. Gara-gara Bapak kamu banyak proyek jadinya udah jarang." Ibuk menekuk bibir, gaya ngambek andalannya. "Ibuk ikut, Kro. Nggak apa-apa, kan?"
Aku meringis. Bukannya aku malu ngajak Ibuk ke tempat umum. Ibuk nggak jelek, atau gayanya norak, cuman... aku kan gonceng Dayat. Ibuk mau duduk di mana? Di knalpot, hmmh? Dasar.
Selesai aku tolak, Ibuk meninggalkanku di dapur. Bibirnya ngedumel bilang aku anak nggak diuntung. Yeee. Lagian apa-apa mau ikut. Temanku ulang tahun kapan tahu itu aja Ibuk mau ikutan. Sudah lama nggak makan kue ulang tahun, katanya. Kan tinggal beli aja di Breadtalk. Ih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daftar Harapan
RomanceApa yang akan kau lakukan jika sebentar lagi kau akan mati? Bersedih? Marah? Atau menerima? Beda dengan Dayat. Lelaki kurus berbadan tegap penderita kanker itu membuat daftar harapan. Harapan yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggalkan dunia. Ak...