Bagian 32

10.4K 422 27
                                    

Setelah pulang sekolah, aku memang sudah ada janji untuk nonton dengan Alder. Kini kami berdua sedang di perjalanan menuju mall. Seperti biasa, aku diboncengi Alder dan berpegangan pada pundaknya. Aku perhatikan Alder lewat kaca spion, tatapannya terlihat fokus pada jalanan. Aku terus memperhatikan wajahnya dan baru sadar kalau Alder memiliki alis yang lumayan tebal, matanya juga jernih. Duuh, aku tak kuasa menahan senyumku saat ini. Ditambah harum parfum khas Alder yang tercium dari jaket navy yang selalu dia pakai ini. Rasanya, mulai sekarang, ini akan menjadi harum favoritku. Aku yakin jaket navy ini adalah jaket kesukaannya, karena hampir setiap hari dia memakainya, yang membuatku berdecak kagum, errr... karena Alder terlihat semakin tampan dan keren. Dia bisa menampilkan sosok yang cool dan kadang slengean dalam waktu berbarengan. Ajaib, tapi aku suka. Aku jadi ingat saat tadi malam teleponan dengan Alder.

Jadi begini, malam itu aku sedang mengerjakan PR Bahasa Inggris. Kemudian handphone-ku bergetar lama. Telepon dari Alder rupanya. Aku langsung mengangkatnya.

"Halo."

"Hai, Pacar."

Aku tersenyum, walaupun sudah pasti tidak terlihat oleh Alder. "Ada apa?"

"Nggak pa-pa, kangen aja."

"Nggak ada jawaban lain selain itu? Perasaan setiap lo nelepon, ditanya kenapa, jawabnya kangen mulu, deh," protesku. Padahal aku sangat suka ketika Alder menyebutkan satu kalimat itu.

"Yaa emang kenyataannya gitu. Gue selalu pengen denger suara lo tiap malem. Makanya, jadi cewek jangan gemesin banget, bikin gue kangen mulu." Dia terkekeh.

"Receh." Itu saja yang mampu keluar dari mulutku. Untung ini di telepon, kalau tidak? Duh, bisa-bisa Alder mengejekku habis-habisan karena pipiku sudah dipastikan seratus persen merah saat ini.

"Lo kangen gue juga, nggak? Bilang kangen, dong, biar guenya seneng."

Dih.

"Tar, bilang kangen dong, ke gue."

"Geli, ah."

"Kok geli? Emang gue ngapain lo? Kan cuma nyuruh lo bilang kangen ke gue. Udah, itu aja. Tar... ayo, dong."

Suara Alder terdengar seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen oleh ibunya. Gemes.

"Satu, satu, aku sayang Tari."

Dia malah bernyanyi. Aku tersenyum lebar mendengar liriknya yang dimodifikasi, yang seharusnya sayang ibu, malah jadi sayang Tari. Aku terkekeh mendengarnya.

"Dua, dua, aku sayang Tari. Tiga, tiga, juga sayang Tari."

Aku tersentuh karena suara Alder yang terdengar tulus di sana. Hatiku menghangat mendengarnya.

"Satu—"

"Satu, dua, tiga, Tari sayang Alder." Aku mengatakannya tulus. Tanpa rasa geli lagi. Entahlah, tak ada yang lebih membahagiakan ketika orang yang kita sayang menyatakan perasaan sayangnya secara tulus pada kita. Aku pun sedikit berani mengungkapkan perasaan yang tengah kurasakan sekarang, bahwa aku juga sayang pada Alder. Tak peduli apa tanggapan Alder selanjutnya. Apa dia akan menggodaku seperti biasa, atau apalah itu. Yang penting, sekarang aku tak pandai menyembunyikan perasaanku terhadapnya. Entah itu saat aku berada langsung di hadapannya atau via telepon seperti ini. Dan kurasa itu lebih baik, daripada harus memendamnya sendiri.

Perasaan senang, bahagia, sedih, ataupun yang lainnya, kini aku punya teman berbagi. Merasa dicintai, disayangi, oleh orang yang kita sayangi juga adalah kebahagiaan yang tiada tara. Apalagi ketika dia menatapku—dan aku pun tahu kalau dia menatapku sama seperti aku yang menatapnya dengan tulus, dengan rasa yang sama. Itu... ah, tak bisa digambarkan oleh kata-kata pokoknya.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang