Aku terdiam memperhatikan senyuman Rakha padaku. Ternyata dia punya lesung pipi yang bagus di pipi kirinya.
"Lo lagi ternyata?"
Aku tersadar akan ucapan Rakha barusan. Beda dari yang tadi, sebelumnya dia tersenyum manis, sekarang dia malah tersenyum meremehkan. Aku bingung dengan perubahan mimik wajahnya yang drastis ini. Rakha memakai sweater navy—yang sangat mirip dengan jaket navy Alder—serta jeans hitam robek di bagian lutut. Sekilas aku memperhatikan penampilannya. Kalau dilihat-lihat, Rakha yang di sekolah dan yang sekarang terlihat beda. Kalau di sekolah, menurutku dia terlihat biasa saja, dengan penampilan yang tidak menggambarkan kesan badboy seperti sekarang. Ditambah sekarang dia memakai topi hitam polos yang sangat kontras dengan kulitnya yang lumayan putih itu. Sebagai cewek normal, aku akui bahwa sekarang dia terlihat keren.
"Eh, lo liatin apa?" Aku tersentak saat dia menjentikkan jarinya di depan wajahku.
"Mana novelnya?" Aku mengabaikan pertanyaannya barusan, dan meminta novel yang diambilnya tadi. Ingin cepat-cepat bayar ke kasir dan pergi dari sini. Entah kenapa aku tak ingin berlama-lama berurusan dengan cowok satu ini.
"Hm." Dia terlihat memikirkan jawaban yang tepat untukku. Tangannya membolak-balik novel yang dia pegang itu. "Kalo nggak salah udah ketiga kali gue bantuin lo ngambilin buku di rak. Dua di perpus sekolah dan satu di sini. Harusnya gue dapet penghargaan atas itu."
Aku mengehela napas pelan. "Jadi, secara nggak langsung lo minta imbalan ke gue? Kalo nolong orang itu harus ikhlas, jangan minta imbalan kayak gini. Ya udah, kalo lo mau novel itu, ambil aja. Gue bisa beli di toko buku lain, tuh."
Baru saja aku akan melangkah meninggalkannya, tetapi dia mencekal tangan kiriku.
"Nih, ambil." Rakha menyerahkan novel itu padaku. Aku melepas cekalannya.
"Gue minta satu permintaan sama lo. Janji, gue nggak bakal minta yang aneh-aneh."
Aku tak habis pikir dengan cowok ini. Dia kira toko buku cuma ada satu? Toko buku cuma ini saja? Dan aku harus menerima satu permintaannya itu hanya karena dia yang beberapa kali menolongku mengambilkan buku di rak? Hello... padahal niat dia yang sudah baik, menolong seseorang yang membutuhkan pertolongannya. Tapi ini dia malah meminta satu permintaan yang jelas langsung membuatku memutar bola mata, malas. Aku bukan gadis polos yang mau-mau saja menerima permintaannya itu. Entah apa pun itu. Yang jelas aku tak punya kewajiban untuk menerima permintaannya.
"Apa wajib gue nerima permintaan lo itu? Gue nggak minta lo nolongin gue, tuh, tadi ataupun kemaren-kemaren pas di sekolah. Lo yang tiba-tiba muncul dan dengan sendirinya ngambilin buku yang mau gue ambil, 'kan? Dengan ucapan terima kasih, gue rasa udah cukup." Rakha hanya menatapku datar. "Kalo gitu, gue berterima kasih atas pertolongan lo yang udah ngambilin gue buku sebanyak tiga kali ini."
Dia tetap diam. Hanya menatapku tanpa ekspresi.
Aku berdeham. "Udah. Kalo gitu gue duluan." Aku beranjak dari sana, meninggalkan Rakha yang masih terdiam dengan tatapan datarnya. Aku bukan psikolog yang bisa membaca pikiran seseorang lewat mimik muka. Atau memang mimik muka Rakha yang hampir sepersekian detik cepat sekali berubahnya. Pertama, dia tersenyum manis, kedua, tersenyum smirk, ketiga, datar. Ah, sudah, lupakan. Tak penting.
Aku keluar dari toko buku ini. Begitu sudah di luar, pandanganku langsung tertuju pada Alder yang tengah duduk di salah satu kursi depan toko buku ini. Dia langsung menyadari keberadaanku dan menghampiriku.
"Gue kira ke mana, lo di dalem ternyata." Dia sedikit melongokkan kepalanya ke depan, melihat area dalam lewat kaca transparan yang melapisi bagian depan toko buku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...