"Loe seriusan mau nikahin si cewe alay?" Tanya Dimas penasaran. Dimas telah menunggu Dito sedari tadi. Ia berada di ruangan Dito, menduduki kursinya. Ia menginterogasi Dito saat Dito membuka pintu ruangannya.
"Mau nggak mau." Jawab Dito pasrah.
"Kok gitu sih? Pernikahan itu sakral bro, loe nggak boleh main-main sama yang namanya pernikahan." Tutur Dimas menasehati.
Dimas memang orang konyol dan suka bercanda, tapi kalau menyangkut masalah percintaan. Ia pakarnya. Ya walaupun kenyataannya ia masih jomblo karena terlalu pilih-pilih dalam menjalin suatu hubungan.
"Orangtua gue yang minta. Mereka senang liat si Alysa. Nggak paham deh gue."
Pernyataan Dito menjadikannya orang yang benar-benar pasrah. Ia memang anak manis yang sayang sama orangtuanya. Ia tak mau menyakiti mereka sehingga selalu menuruti apa kata merek termasuk soal pernikahannya dengan Alysa.
"Tunggu... loe nggak dijodohin kan sama si cewe alay?" Melihat semua kondisi Dito, Dimas mulai berasumsi bahwa mereka dijodohkan. Karena menururnya kondisi yang dialami Dito dimana orangtua sangat menyayangi si cewe dan memaksa harus menikahinya adalah suatu perjodohan.
"Enggak kok Dim." Dito mengelak.
"Gue sama dia udah pacaran dari SMA. Ya biasa lah cinta-cintaan anak ABG. Dulu gue sayang banget sama Alysa. Tapi semenjak gue kuliah gue nyadar kalau gue sama Alysa sama sekali nggak cocok."
Dito menjelaskan bahwa tidak ada perjodohan. Dia mencintai Alysa, tapi itu dulu.
"Terus kalau loe ngerasa nggak cocok kenapa nggak putusin dia dari dulu?" Tanya Dimas penasaran dengan tindakan Dito yang seakan akan hanya diam di tempat.
Pria seperti Dito, good boy memang selalu begitu. Tidak berani bertindak karena terlalu takut untuk menyakiti hati oranglain tanpa memikirkan dampak kedepannya seperti apa.
"Gue merasa takut Dim, gue sama dia udah pacaran dari kelas X. Gue bingung cara deketin cewe lagi. Gue terlalu takut jadi seoarang jomblo."
Lagi-lagi Dito selalu berada di safe zonenya. Tidak mau mengambil banyak resiko. Karena itu tadi, takut melukai banyak orang.
"Ya ampun. Terus kenapa loe milih dia jadi pendamping hidup loe disaat loe nggak ada perasaan untuknya? Kenapa loe iya iya aja pas orangtua loe nyuruh loe nikah? Kenapa nggak bisa bilang nggak? Apa perlu gue ajarin caranya, huh?" Dimas terus berbicara karena kesal dengan tindakan Dito saat ini.
"Itu dia. Orangtua gue ngerasa kita udah cocok. Gue nggak mau nyakitin mereka kalau keputusan gue bertentangan sama mereka."
Dimas menepuk jidatnya mendengar penjelasan Dito. Kemudian ia beranjak dari kursinya berjalan mendekati Dito dan berkata "Bro, gue saranin loe putusin Alysa. Jangan kasih hati loe yang setengah-setengah ini ke dia. Kasian di loe dan Alysanya juga."
"Gue bingung Dim. Gue lagi mikir gimana cara ngatasin masalah ini." Jawab Dimas pasrah.
"Putusin Alysa!"
"Sekarang?"
"Enggak. Kemarin!"
"Disaat kondisi kayak gini loe bisa-bisanya ngelawak. Nggak lucu bro!"
"Dih ngambekkan kaya cewek PMS aja loe. Itu cuma saran gue, diterima syukur enggak juga nggak apa-apa. Nggak ngefek apa-apa juga sih buat gue."
"Drrrttt... drrrrt... drrrrrt." Ponsel Dimas tiba-tiba berbunyi.
"Sebentar, ada telepon." Dimas beranjak dari ruangan Dito untuk mengangkat telepon.
Dito mengangguk mempersilahkan Dimas untuk keluar ruangan. Lalu dia mulai mengerjakan perkerjaannya yang sudah menumpuk.
"Siapa yang nelpon gue pas jam kerja gini." Gumam Dimas. Ia tak nyaman ketika ada orang yang menghubungi saat ia berkerja.
Ia meraih ponsel yang berada disakunya.
"Si alay?" Tanda tanya besar terbayang diotaknya, tercengang saat melihat ada nama Alysa menelepon.
*on the phone*
"Kenapa?" Tanya Dimas ketus.
"Gitu amat sih."
"Ya habis nelpon pas gue kerja."
"Ya maaf. Cuma mau tanya, Dito masih sibuk kah? Dia nggak nanya kabar apapun saat aku tiba di Bandung."
"Benarkah? Mana mungkin. Loe kan pacarnya, seenggaknya nanya loe baik-baik aja apa enggak."
"Makanya aku tanya apa Dito benar-benar sibuk sekarang?"
"Bisa jadi. Kita kan mau buka cabang baru."
"Okelah kalau begitu. Maaf menganggu waktunya."
Tanpa basa basi, Alysa menutup teleponnya.
"Benar benar ya si Dito. Kok gue jadi ngerasa iba sama si alay. Kasian juga dicuekin."
"Ah. Lupakan! Dimas ingat, jangan ikut campur sama urusan cinta orang lain. Karena bisa jadi akan mempersulit loe karena nanti loe ikut masuk ke dalam ceritanya."
Dimas langsung mengangkat gagang telepon untuk memberitahukan Dito kalau Alysa menanyakannya. Ia menggunakan telepon internal kantor karena kebetulan tidak mempunyai pulsa untuk menelepon Dito.
"Kenapa bro?"
"Alysa tadi nelpon gue. Nyariin loe."
"Apaa? Terus loe bilang gimana?"
Dito terkejut mendengar kabar dari Dimas.
"Gue bilang loe sibuk dan dia langsung ngerti. Kenapa sih loe nggak hubungin dia?"
"Hmmm. Gatau kenapa gue malas aja, bro."
"Nggak boleh gitu, biar bagaimanapun dia masih cewe loe. Loe harusnya minimal nanyain kabar dia. Apalagi dia baru tiba di Bandung."
"Oke oke.. nanti gue kabarin dia. Eh kok loe jadi sok ceramahin gue sih masalah cinta. Loe sendiri kan jomb.."
"Jomblo maksud loe? Walaupun jomblo, gue ini pakarnya. Setiap orang pasti curhat sama gue. Camkan itu."
"Udah.. udah.. loe tutup tuh telepon. Loe pake telepon kantor, takutnya ada yang mau ngehubungin gue."
"Eh iya.. maaf boss,maaf. Gue tutup nih ya."
Dimas menutup telepon dan meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Lalu ia kembali bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Hati (COMPLETED ✔)
Romance~Random Private~ Ketika hatinya tak lagi sepenuhnya untukmu, apa yang kamu ingin lakukan? Maju atau mundur? Atau akan diam di tempat? Alysa baru menyadari bahwa setengah hati pujaan hatinya sudah bukan miliknya lagi. Ia bingung akankah harus bertah...