Aku terdiam di tengah malam sunyi. Mengabaikan puluhan notifikasi dari teman-teman dunia maya. Sesuatu yang sebelumnya selalu mampu mengalihkan kesepianku di tengah malam yang seakan-akan hendak merenggut eksistensiku di dunia yang kejam ini. Tapi tidak untuk malam ini!
Aku hanya ingin meresapi rasa kehilanganku, ketika tak ada seorang pun mencoba mengerti alih-alih memberi dukungan. Aku tegar bila mereka mencemoohku, tapi aku tidak pernah bisa rela bila dia, orang yang bahkan tak kalian kenal yang bahkan tak pernah mengganggu kalian. Yang bahkan sudah tak lagi berada di dunia ini. Aku tak pernah mengira, teman-teman yang seharusnya saling menguatkan —terlebih karena kesamaan nasib kami, orientasi kami yang tak biasa.
Tapi tidak. Akulah yang terlalu naif atas pertemanan dunia maya ini. Persamaan orientasi tak lantas menjadikan mereka memberi dukungan atas kehilanganku. Salahku juga yang mudah percaya pada orang lain. Aku memang tak pernah menyimpan kekhawatiran pada orang yabg baru kukenal. Aku hanya senang berteman dan berbagi kisah. Terlebih pada orang-orang ‘sakit’ sepertiku, rasanya semua rasa was-wasku lenyap begitu saja hingga tanpa sadar malah bersedia bercerita banyak hal.
Termasuk tentang dirimu.
Airmataku menetes lagi. Seharusnya tak segampang itu percaya pada orang lain!
“Maafkan aku, yang...” desisku ditingkahi isakan pelan. Tubuhku bergetar menahan emosi, isak, menahan keinginan untuk menjerit sekeras-kerasnya. Aku tidak terima mereka menghinamu atas hal yang bahkan bukan berada dalam kuasamu. Bagaimana bila hal itu, penyakit itu justru menimpa mereka bahkan tanpa mereka tahu?
“Maafkan aku...”
Semua terlalu menyesakkan untuk kutanggung sendirian. Aku tak ingin terpuruk seperti ini, aku ingin bangkit. Aku tahu kau akan marah melihatku menyesali diri seperti ini. Berhari-hari, berkali-kali aku berusaha untuk kuat dan tegar. Bersikap seolah aku sudah mengikhlaskan kepergianmu. Tapi selalu ada saat dimana aku tak mampu menguasai diriku sendiri. Seperti malam ini.
Hanya untuk malam ini saja. Biarkan aku terhanyut pada kenangan masa laluku, pada awal pertemuan kita, pada masa-masa dimana masih ada dirimu. Waktu-waktu yang ingin sekali kujelang kembali dengan mesin waktu. Dan bila mungkin, aku takkan pernah mau menjejakkan kakiku ke masa kini ataupun masa depan. Ini terlalu berat untuk kutanggung sendirian.
Kata sendirian yang dulu terdengar biasa saja sekarang menjadi momok mengerikan bagiku. Sendiri sekarang hanya berarti satu bagiku, yaitu aku tanpa dirimu (lagi).
Aku menyusut air mataku, mengelus permukaan dingin dan datar kaca pembungkus bingkai foto yang mengurungmu dalam bentuk potret dengan senyum teduh itu. Mengingat kembali ke suatu masa ketika semua berawal.
Kisah kita.
*to be continued*
Yak, saya kembali hadir membawakan cerita baru yang berdasarkan dari true story dari salah seorang teman gay saya. Hope you like it, and stay tune gaes. Mungkin bakal update setiap malming ketika saya mulai post chap satu nanti ya. Untuk saat ini harap berpuas hati dengan prolog dulu 😂😂😂*belom kelar nulisnya*
See ya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
General FictionBased on true story. Special thanks to Bangata for his inspirative story. Also big thanks to @KucingMonster97 for the cover. Cerita ini mengandung unsur BxB alias homo. Silakan balik kanan bila kamu adalah homophobic. "Jauhi penyakitnya, bukan oran...