“Pokoknya aku maunya Mas Alvian!”
Alvian pusing, meski hal itu tak tersirat sedikit pun pada air mukanya. Sudah seminggu belakangan ini Oza terus-menerus menyerang dengan permintaannya tersebut. Ya. Dirinya. Sebagai hadiah ultah. Sekarang, Oza menerornya dengan permintaan yang sama lima kali dalam sehari.
“Jangan mesum!”
Bahkan bentakan itu pun tak berefek apa-apa terhadap Oza. Cowok tembem itu hanya memeletkan lidahnya, lalu melenggang cantik meninggalkan Alvian yang frustasi. Belum lagi jika mengingat pekerjaannya yang menumpuk, tingkah Oza makin menambah sakit kepalanya.
“Mas, apa Mas jijik sama aku? Karena aku udah bekasnya Kak Icuk?”
Pertanyaan polos itu terlontar di suatu pagi. Lebih dari cukup untuk membuat dada Alvian sesak karenanya. Dia tidak serendah itu, bagaimana mungkin Oza bisa berpikir seperti itu tentangnya? Dan seperti biasa, Alvian tak begitu pandai berkata-kata ketika dirinya tengah diliputi kemarahan. Alvian marah dengan pemikiran Oza serta ketidak mengertiannya atas kemauan Oza.
“Aku nggak jijik sama kamu. Dan aku nggak mau denger kamu ngomong kayak gitu lagi!” Alvian sungguh-sungguh ingin mengutuk dirinya sendiri kala mendengar betapa dingin nada suaranya barusan. Oza meliriknya sedih dari balik ujung poninya yang mulai memanjang melewati alis. Alvian merasa menjadi orang yang paling jahat saat ini.
“Kalo gitu, Mas cuma kasihan kan sama aku?” tuduh cowok tembem itu, kali ini disertai ekspresi merengut nan menggemaskan. Alvian yang tengah memasukkan lengan kirinya ke lengan jaket hitamnya sontak menghentikan kegiatannya di tengah jalan. Melupakan jaketnya yang belum terpasang sempurna, berjalan cepat menuju Oza yang duduk dengan lemas di kursi counter dapur. Memegang kedua bahu itu erat-erat lalu menariknya ke atas. Memaksa sang empunya bangun dari duduknya, meringis menatap wajah Alvian yang... sendu?
“Aku nggak akan seegois ini kalau alasanku hanya sedangkal seperti sebuah rasa kasihan!”
“Kalo gitu, aku tetep mau kamu, Mas! Di hari ulang tahunku. Mau nggak mau, aku pasti akan mendapatkan Mas Alvian seutuhnya!” seru cowok tembem itu tak kalah tegasnya.
Perdebatan mereka hari itu berakhir begitu saja kala Alvian tersadar bahwa ia hampir terlambat untuk masuk kantor. Sejak hari itu, Alvian memilih untuk menghindari Oza. Pulang larut dan berangkat lebih pagi. Rutinitas yang sama seperti saat ia membawa Oza tinggal bersamanya. Alvian rindu, teramat sangat pada ocehan dan senyum cowok gembil itu.
Sayang semua kerinduannya itu harus ditelannya bulat-bulat, dicegah oleh ketakutannya yang tak terkatakan. Dan sekarang, rindu itu terpaksa diobatinya dengan menatap wajah damai Oza yang terlelap sepulangnya dia dari kantor. Di larut malam yang sepi.
Oza tahu Alvian menghindarinya. Hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus berusaha mendapatkan hadiahnya. Berusaha mengenyahkan keraguan di hatinya mengenai perasaan Alvian terhadapnya setiap kali ia mengirimi beberapa pesan pada Alvian. Setiap hari.
‘Aku mau Mas Alvian!’Oza tak ingin meragukan perasaan Alvian. Otaknya kacau karena Alvian tak kunjung memberi alasan dibalik penolakannya atas keinginan Oza yang satu itu. Sementara satu-satunya ide yang terlintas di benak Oza untuk memastikan tempatnya di hati Alvian hanyalah dengan memaksa Alvian ‘melakukannya’. Oza tahu itu konyol. Bodoh. Tapi dia sudah tak punya clue lagi harus bagaimana. Nasihat Fernandi dulu sudah tak diingatnya sama sekali.
Otaknya berkabut. Bayang sendu wajah Alvian di pagi itu menghantuinya sepanjang hari dalam ketidak mengertian.
💕💕💕
“Mas, sakit Mas...”
Alvian seketika dilanda kepanikan. Buru-buru menunjuk sembarangan pada satu diantara barisan benda bulat yang terpajang di etalase. Meminta agar segera dibungkuskan, lantas berlari pulang tanpa memperhatikan langkahnya yang telah menabrak beberapa orang. Yang ada di benaknya hanyalah mencapai kendaraannya secepat mungkin untuk kemudian memacunya secepatnya menuju rumah.
“Oza! Kamu dimana Za?” teriaknya panik begitu sampai di rumah. Tak ada jawaban selain sebuah rintihan samar. Alvian memukul keningnya keras-keras kala menyadari kebodohannya. Dimana lagi Oza akan berada kalau bukan di kamarnya?
Oza meringkuk bagaikan udang, merintih sembari memeluk perutnya sendiri dengan kedua lengannya. Keringat dingin mengucur deras di kening dan bajunya. Alvian segera memburu sosok yang akhir-akhir ini telah mencuri semua pehatiannya itu, menyentuh dahinya dan dengan gugup berusaha mencari keberadaan ponselnya, mencari bantuan. Mencari-cari kontak salah seorang temannya yang dulu juga menangani Oza kala sakit.
Tak terbayangkan betapa paniknya Alvian menunggui Oza hingga akhirnya dokter tiba. Cowok tembem itu sama sekali tak menyahuti panggilannya, hanya sesekali merintih sambil meremasi jemari besar milik Alvian kala rasa sakitnya sudah tak tertahankan lagi.
💕💕💕
Asam lambung.
Begitulah diagnosa dokter. Alvian tidak akan merasa heran. Di dapur sekarang penuh dengan sampah-sampah lemon dan jeruk nipis asam. Entah berapa kilo, Alvian ngeri membayangkan minuman itu mengikis dinding lambung kekasihnya.
Oza nekat meminum minuman asam secara berlebihan beberapa hari belakangan. Kebiasaannya kalau sudah dilanda stres. Lupa dengan janji untuk tidak menyentuh minuman asam lagi. Memang tidak seperti efek sehabis minum miras, tapi mau bagaimana lagi. Mau coba miras dia gampang mabuk, selain itu penyakit maagnya membuatnya tak tahan mual. Yak, Oza memang pria lemah!
“Buru makan sekarang! Buka mulut kamu!” paksa Alvian grmas pasca kepergian dokter beberapa waktu lalu. Oza yang masih tergolek lemah menggeleng pelan. Menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua belah tangan. Alvian menggeram jengkel. Ini anak maunya apa sih?
“Perutnya masih sakit, kan?” tak menyerah, Alvian masih coba membujuk. Oza mengangguk mengiyakan.
“Ya udah, makanya makan! Habis itu minum obat, tidur! Jangan lempeng kek gini, emangnya mau nahan sakit terus?”
Oza menggeleng. Alvian menghela napas, meletakkan mangkuk buburnya di nakas. Menatap tajam ke arah Oza yang kini tengah membuka mulutnya seakan hendak mengucapkan sesuatu. Alvian menaikkan kedua alisnya, menunggu.
“Aku mau minum obat, kalau Mas mau nurutin kemauan aku,” ujarnya pelan tanpa berani menantang netra kelam milik Alvian yang sedari tadi mengawasinya. Firasat Alvian sudah jelek duluan, tapi berusaha ditepisnya. Tak mungkin kan, kekasihnya ini akan meminta ‘itu’ di saat seperti ini?
“Apa?”
“Aku mau... Mas Alvian!” desah Oza dengan sorot mata memohon dan manik yang dibasahi air. Tak perlulah dijelaskan apa yang diinginkan cowok tembem tersebut atas kata ‘Mas Alvian’ barusan.
Ya Rabb...
Alvian mengusap mukanya gusar. Firasatnya benar. Dan apa-apaan ekspresi memohon nan menggemaskan itu? Alvian sontak merasakan darahnya berdesir, daerah selatannya menunjukkan pemberontakan. Sekuat tenaga ditahannya dengan mengalihakn tatapan ke arah lain sembari berusaha menjernihkan pikirannya kembali. Mencari akal agar dapat keluar dari situasi ‘anu’ seperti ini.
“Kamu nggak ngerti, Za! Tolonglah, jangan kekanakan kayak gini!” Alvian masih berusaha mengulur-ulur. Oza merengut, menatap tajam pada Alvian yang kini duduk dengan gelisah di kursinya.
“Aku emang nggak ngerti. Mas gak sekali pun mau cerita. Menerangkan. Dan aku gak maksa Mas buat jelasin, aku gak butuh. Aku cuma ingin bukti. Kalau aku ini emang beneran bf-nya Mas Alvian. Dan Mas gak lagi mengasihani aku—”
“Oza!” sergah Alvian cepat, nadanya sarat akan ketidak sukaan. Oza terdiam sejenak, paham kalau kalimatnya mungkin sudah keterlaluan. Oza benar-benar tak punya clue.
“Kamu nggak bakal nyesel? Nggak mau dengerin penjelasan aku dulu?” Alvian masih berusaha mengulur-ulur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
Genel KurguBased on true story. Special thanks to Bangata for his inspirative story. Also big thanks to @KucingMonster97 for the cover. Cerita ini mengandung unsur BxB alias homo. Silakan balik kanan bila kamu adalah homophobic. "Jauhi penyakitnya, bukan oran...