Part 10 (end). Matahari yang Kehilangan Sinarnya

481 65 33
                                    



Masa-masa tersulit bagiku adalah ketika kenyataan ternyata dapat terasa begitu pahit. Aku tak bisa percaya bahwa kau terbangun sekali hanya untuk pamit dan pergi. Apa lagi yang dapat lebih buruk dari pagiku tanpa senyummu, siangku tanpa chat darimu. Dan yang paling berat adalah malam-malam penuh mimpi buruk, ketika aku terbangun dengan peluh dingin bercucuran dan kau tak kutemui lagi di sisiku. Untuk memeluk dan menenangkanku. Kau sudah tak kudapati lagi di dunia ini.

Jika kehilanganmu masih belum cukup mengerikan, mungkin melihatmu disakiti oleh seseorang yang tak mengenal siapa sesungguhnya dirimu adalah hal yang paling menyakitkan untuk kuhadapi. Kau benar ketika melarangku untuk sembarangan berbicara. Mungkin harus kau tambahkan juga dengan : tidak bicara dengan sembarangan orang, apalagi dengan orang tak dikenal. Sosmed dewasa ini telah berevolusi menjadi demikian mengerikan.

💕💕💕

Hari-hari Oza limbung selepas kepergian Alvian. Yang setia dilakukannya hanyalah menatap kosong pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Masih tak percaya kalau sore itu benar-benar menjadi sore terakhir bagi Alvian untuk memenuhi permintaan Oza. Siapa sangka, keesokan harinya ketika sang surya belum lagi mencapai setengah perjalanannya dalam menerangi bumi, Alvian menghembuskan napas terakhirnya dengan bibir yang tak hentinya menggumamkan nama Oza. Penuh kerinduan yang terbalut penyesalan karena harus pergi mendahului sang terkasih.

Oza tak tahu entah bagaimana caranya melewati hari paling kelam di hidupnya saat ini. Yang ia tahu, tiba-tiba saja dia sudah berada kembali di kamar mereka di rumah, menatap kosong pada lemari pakaian milik Alvian yang kemarin ditinggalkannya dalam keadaan terbuka. Mengambil kotak beludru dan mengeluarkan cincin milik Alvian dari sakunya dan memasangnya kembali pada tempatnya bermula tersemat.

Cincin itu terdiam di sana, sendirian seakan ikut sedih atas nasib pemiliknya yang hanya bisa mengenakan dirinya selama beberapa jam saja.

Berhari-hari setelah itu, cowok gembil itu tersiksa dalam malam-malamnya yang penuh kesepian. Dimana tak sekejap pun matanya sudi untuk terpicing. Semua memori tentang Alvian berseliweran di kepalanya dan tanpa dapat dicegah, air matanya akan meluber seperti keran bocor. Tak hentinya menangis hingga pagi menjelang.

Begitu terus yang terjadi selama seminggu penuh, Oza bahkan tak memperhatikan kebutuhan dasarnya untuk makan, minum dan mandi. Hanya termangu di dalam kamar yang gelap, berharap Alvian datang menjemputnya. Atau berharap bahwa semua ini hanya mimpi, esok hari ketika dirinya bangun akan ada Alvian di sisinya, memeluk tubuhnya dari belakang dengan penuh sayang.

“Kamu bakal bikin Bang Al sedih kalo kayak gini terus, Za!”

Sahabat bawelnya akhirnya turun tangan, tak tega melihat sahabat gembilnya tenggelam dalam kesedihan hingga menyiksa diri sampai seperti itu. Jauh di dalam hatinya, Fernandi juga ikut bersedih atas hal tragis yang menimpa nasib percintaan kedua temannya tersebut. Sama tak mengertinya dengan Oza, bagaimana seorang Alvian dapat pergi semendadak itu. Namun apa mau dikata, ketika Tuhan sudah menurunkan takdirnya, tak seorang pun dapat menolak.

“Kamu harus move on, Za!”

Oza tergerak, setelah lebih dari satu jam hanya duduk diam tanpa mengacuhkan keberadaan Fernandi dengan semua kebawelannya. Dahi Fernandi berkerut heran.

Move on? Nggak bakalan!” bisik Oza pelan namun cukup jelas terdengar di telinga Fernandi. Salahnya juga, segampang itu menyuruh sahabatnya untuk move on. Bagi Oza, kata move on itu hanya berarti melupakan. Dan dia tak hendak melupakan Alvian, bahkan untuk satu menit pun! Di balik semua itu, Fernandi juga tak bisa membiarkan sahabatnya terus-terusan tenggelam dalam kesedihan seperti ini.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang