Part 4. Lenyap Tanpa Sisa

422 60 14
                                    


Dan semua berlangsung sesimpel itu. Pengakuan cinta yang terdengar seperti main-main dan lebih ke tujuan memberi pertolongan itu justru menjadi awal dari hubungan kita. Aneh, kalau dipikir-pikir, aku benar-benar tak tahu harus bereaksi seperti apa saat itu. Hanya bisa terlongong tak mengerti. Tapi berkat ulahmu itu, aku yang semula kesulitan untuk memejamkan mata menjadi dapat tertidur dengan lelap, hingga kebablasan kesiangan esok harinya.

Salah satu kenangan termanisku adalah saat kamu menembakku malam itu. Dan pelukan pertama kita setelahnya. Aku, saat itu masih tak tahu apakah aku juga menyukaimu lebih dari seorang teman atau tidak. Tapi satu yang pasti, aku sangat menyukai pelukanmu malam itu. Hangat dan menentramkan.



💕💕💕



Semua lebih mudah dirasa Oza dikala Alvian berada di sisinya. Selama ini juga begitu, semenjak kejadian Oza ngambek di kafe Alvian kini seakan tak terpisahkan dengan sosok berpipi tembem itu. Walaupun tidak sampai 7/24 tetapi mereka tak pernah sampai lost contact. Setidaknya dalam seminggu, paling kurang mereka akan saling chatting sebanyak satu-dua kali.

Dan hal itu semakin intensif terjadi kala sosok Icuk datang kembali ke kota tempat tinggal mereka, salah satu kota besar di Pulau Kalimantan. Tepat setelah Oza ambruk di Taman Kota dan dibawa pulang hingga ditembak oleh Alvian. Oza tak mengerti lagi kenapa kisah selanjutnya benar-benar jadi drama begitu.

Seperti pagi ini. Entah dari mana sang mantan terindah ini mendapatkan alamat kosan Oza. Menunggu tepat di depan pintu kamar kosannya dengan ekspresi seperti anak hilang yang mampu menerbitkan rasa iba siapapun yang melihatnya. Kecuali Oza. Cowok tembem itu sudah kebal. Walau tak bisa memungkiri, beberapa waktu lalu ia sempat terbawa kenangan. Pasalnya, Icuk selalu memasang wajah anak hilangnya itu tiap kali Oza ngambek padanya. Dan hal itu selalu berhasil menaklukkan Oza.

Oza menghela napas panjang. Andai saja Alvian sedang tidak harus buru-buru ke kantornya pagi ini sehabis mengantarnya ke kosan tanpa sempat turun tadi, pasti akan lebih mudah mengusir cowok itu. Yah, mau bagaimana lagi, kan. Hadapi sajalah.

Icuk yang semula menunduk dalam-dalam sambil berjongkok, seketika langsung bangun dari posisinya. Menatap Oza lekat-lekat dengan tatapan yang masih Oza hafal sebagai tatapan kesal. Penuh tuduhan. Itulah yang dulu seringkali membuat Oza lelah berpacaran dengan Icuk. 

Posesifnya kadang tidak kira-kira, belum lagi tuduhan-tuduhan tak masuk akal yang kerap kali dilontarkannya tanpa memikirkan perasaaan Oza. Meski begitu, Oza masih mencoba bersabar. Menganggap kalau hal itu disebabkan Icuk yang amat mencintainya dan tak ingin sampai kehilangan.

“Kamu abis dari mana? Nggak pulang semalaman. Jangan bilang kalau kamu jadi sering kayak gini sejak... aku pindah?” Icuk memang langsung pindah ke Malaysia ikut istrinya sejak resmi menikah.

Tadi saja Alvian sudah ragu-ragu untuk meninggalkannya karena melihat wajahnya yang masih pucat walaupun tidak separah kemarin. Setelah istirahat dua hari di rumah Alvian. Apa Icuk tidak bisa melihat hal itu?

Oza lelah. Kepalanya yang tadinya sudah mulai baikan kini mulai berdenyut-denyut lagi. Sayangnya Icuk tak mau mengerti, masih saja merecokinya dengan berbagai pertanyaan.

“Kok nggak jawab? Jangan-jangan bener, ya? Kamu... jangan bilang kalo kamu udah jadi cowok penyuka ONS*? Atau ikut pergaulan bebas?”

“Nggak, Kak...” sungguh Oza lemas. Tapi Icuk menanggapi lain.

“Berapa ronde semalam? Atau berapa banyak kamu minum?” gerakan tangan Oza yang hendak memutar kunci untuk kedua kalinya terhenti begitu saja. Terdiam, lantas tersenyum miris. Sebegitu hinakah dirinya di mata Icuk?

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang