Part 1. Milkshake Trouble

1K 79 57
                                    

“Cobain deh tuh, Za. Lumayan kan, daripada bengong aja!”

Teguran barusan menyadarkan cowok bertubuh kecil itu dari lamunannya yang nyaris saja membawanya terbang menuju alam mimpi. Oza Nadindra namanya, semester empat jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada salah satu universitas bergengsi di provinsi K, pada salah satu kota besar yang cukup dikenal di Indonesia.

“Apa sih, Fer! Minumannya udah abis, juga!” balas cowok bertubuh kecil dan berpipi tembem itu memberengut. Merasa acara me time-nya untuk bengong dihancurkan oleh kicauan Fernandi, teman paling jahil di komunitas mereka. Kau bertanya komunitas apa? Jawabnya komunitas gay. Komunitas yang telah ada sejak dua tahun lalu, didirikan oleh Jevan, bf-nya Fernandi.

Komunitas mereka kerap kali mengadakan pertemuan di Blue Cafe yang terletak di sebuah di sebuah bukit yang merupakan aset pribadi milik Jevan. Kegiatan mereka positif, wajar layaknya komunitas yang diikuti mayoritas cowok di luar sana. Entah itu off road, fun run, apapun yang seru mereka pasti akan ikut. Mereka belum pernah mengadakan acara sendiri sejauh ini hanya ikut berpartisipasi saja pada acara-acara yang ada di lingkungan sekitar mereka. Yang membedakan hanyalaha, mereka adalah kumpulan orang-orang SWAG (sure, we are gay).

“Elah, yang lagi ngomongin minuman siapa, juga!” seru Fernandi gemas sambil menjitak kepala Oza pelan.

“Sakit!”

“Gitu aja sakit. Nih, aku kasih tau obatnya biat ga sakit campur galau lagi!” Oza baru saja akan membuka mulutnya untuk protes. Dia tak sedang galau, tapi kedua telapak tangan Fernandi lebih cepat menahan kemudian mengarahkan kedua belah pipi cubitable itu untuk menghadap ke arah seorang cowok yang senang menyendiri di sudut sana. Alis Oza yang tipis itu bertaut heran.

“Siapa tuh? Pelanggan baru?” tanyanya sambil mengamati cowok itu baik-baik. Wajahnya tampan dengan dua alis tebal yang menaungi mata tajam bak mata elang. Hidungnya mancung seperti perosotan anak TK dan bibirnya sedang. Tidak tebal seperti ulat bulu atau terlalu tipis layaknya bentuk dompet Oza tiap mendekati akhir bulan.

Satu hal, Oza tak merasakan radarnya berbunyi.

“Anggota baru komunitas kita. Makanya kamu kalo ada member baru jangan malah molor!” sahut Fernandi tanpa mempedulikan tatapan kesal yang dilontarkan oleh Oza.

“Kamu...nggak salah tuh dia member kita juga? Nggak ada rona-rona beloknya, ah!” sergah Oza tanpa melepaskan tatapannya dari cowok ganteng itu. Beruntung  cowok itu tak menyadari bahwa Oza terus menatapnya. Dia terlalu sibuk dengan gawainya.

Fernandi yang menangkap ketertarikan Oza terhadap cowok baru nan cool itu menyeringai lucu.

“Samperin, gih. Kesian dia tiap dateng kemari bengong mulu sendirian. Anak-anak yang lain pada gak tahan sama sikap dinginnya.”

Oza mengangkat kedua bahunya, bangun dan beranjak menuju sang cowok dingin yang straight looking tersebut. Tanpa basa-basi mengambil tempat tepat di depan cowok tersebut. Melemparkan senyum terbaiknya ketika cowok tersebut menatapnya dengan tatapan heran campur terganggu.

“Halo!”

Cowok itu masih tak memberi reaksi berarti selain melirik Oza, lalu melirik ke seputar area kafe yang luas namun sepi pengunjung tersebut. Seakan mengatakan : ‘masih banyak tempat, kenapa harus duduk di depanku?’

Oza lebih dari mengerti arti tatapan mengusir tanpa kata tersebut. Tapi tak semudah itu untuk mengusirnya. Setidaknya sebelum ia berkenalan lebih dahulu, Oza tak akan mundur terlebih dahulu.

“Halo? Kamu, iya kamu. Elah, diem mulu Mas? Kenalan boleh kali, ya,” tambah Oza masih dengan senyum tersungging di bibirnya. Kernyitan di kedua alis tebal itu mrnjawab pertanyaan Oza.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang