Aku masih di sini, tergugu menatap potretmu yang terbelenggu dalam bingkai kaca. Semalam kau mendatangiku lewat mimpi yang tak rela untuk kuakhiri. Dan entah sudah berapa lama waktu berlalu, yang kutahu di luar gelap telah kembali mengungkung.
Mataku bengkak. Lidahku kelu menyerukan namamu dan kata maaf berulang-ulang. Kau takkan kembali lagi, hanya akan bersemayam di hati. Kerinduan ini, aku tak tahu harus bagaimana meluapkannya. Pertemuan denganmu hanya membiat kerinduanku semakin bertambah besar.
Ponselku berkedip. Sebuah notif. Dua. Tiga. Padahal baru saja kunyalakan. Mataku menangkap nama Ryan. Kemarahan kembali menguasaiku, yang dengan cepat kunetralkan dengan menarik napas panjang. Apapun yang terjadi, sudah tak ada yang menandingi kesakitan akibat kebodohanku kemarin.
‘Lo marah sama gue?’
‘Elah, santai dong. Anak-anak gak bermaksud buruk kok. Cuman ya, kan mereka ngomong kenyataan.’
‘Lo marah? Etdah baperan amat!’
Aku memejamkan mata rapat-rapat, tak sanggup lagi membaca kelanjutan dari pesannya yang cukup banyak. Semakin lama semakin kasar dan menyakitkan. Air mataku luruh lagi. Dan ketika jemariku bergerak hendak mengetikkan kata-kata balasan, nasihatmu kembali terngiang.
Mikir sebelum bicara. Kadang apa yang kamu maksud bisa ditanggapi dengan pemahaman yang berbeda bagi orang lain!
Kuhela napas panjang, menjernihkan kembali pikiranku yang sebelumnya sudah dipenuhi kata-kata kasar, umpatan menyakitkan. Mas Alvian lagi-lagi benar. Jika aku langsung membalas pesan Ryan tanpa berpikir lagi, aku pasti akan lepas kontrol. Bukannya reda, masalah justru akan semakin besar. Aku mencoba lagi, menggali logika dan nurani barulah kemudian mengetikkan sebaris kalimat pendek sebagai balasannya.
Melangkah ke halaman belakang menatap langit yang ditaburi bintang. Rembulan bersinar terang, purnama ke empat belas.
Aku hanya ingin memenuhi keinginanmu untuk bahagia. Tetap tegar meskipun kau tak lagi menemani di sisiku.
Kulirik lagi pesan yang akan kukirimkan pada Ryan sebelum menggerakkan jari pada tombol send. Mungkin inilah kali terakhirku mengirim pesan untuknya.
‘Semoga Tuhan menjauhkan kamu dari tragedi yang pernah menimpa kami.’
Naif? Mungkin juga terdengar munafik. Aku tak peduli. Inilah keputusan terbaiknya untuk saat ini. Aku punya Tuhan untuk membalas mereka, dan sebaris doa itu akan kuanggap sebagai sebentuk kebaikan hatiku sebelum Tuhan menegur mereka.
“Ini sudah benar kan, Mas?”
Tak ada jawaban.
Hanya semilir sejuk angin malam menerpa wajahku yang terasa seperti senyum teduh yang selalu Mas Alvian berikan tiap kali dirinya berbuat benar.
💕💕💕

KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
General FictionBased on true story. Special thanks to Bangata for his inspirative story. Also big thanks to @KucingMonster97 for the cover. Cerita ini mengandung unsur BxB alias homo. Silakan balik kanan bila kamu adalah homophobic. "Jauhi penyakitnya, bukan oran...