Part 7. "Jangan nangis, Mas..."

422 58 40
                                    


Hari-hari setelah malam pengakuan itu berlalu lambat. Kebekuan tercipta diantara mereka yang sama-sama dilanda kebingungan mencari cara untuk mencairkannya. Alvian semakin menenggelamkan diri dalam pekerjaannya, semakin jarang pulang. Pun dengan Oza yang lebih suka menghabiskan waktu di kampus atau perpustakaan. Dimana saja asal bukan di rumah Alvian.

Keadaan itu lagi-lagi terendus oleh Fernandi. Si bawel kekasih Jevan itu memang paling peka kalau sahabat tembemnya tengah dilanda masalah. Dan sebagai seorang yang berjiwa kepo, Fernandi sudah tahu apa yang menjadi pangkal penyebab perang dingin antara Oza dan Alvian saat ini. Terima kasih kepada Jevan yang sudah memanfaatkan tubuhnya untuk tiga ronde panjang hanya demi mendapatkan bocoran dari curhatan Alvian pada Jevan beberapa waktu lalu.

Fernandi benar-benar tak menyangka bila Alvian ternyata menghadapi masalah sepelik itu. Ada sesuatu yang dipendamnya diam-diam di balik sifat dingin dan berhati-hati yang dimiliki cowok itu. Di balik kehati-hatiannya untuk memulai sebuah hubungan, ada ketakutan besar akan penerimaan seseorang terhadap keadannya. Untuk kali ini, Fernandi tak tahu harus melakukan apa demi meluruskan permasalahan diantara keduanya. Dia juga bingung. Kasihan melihat wajah Oza yang sembap dengan kantong mata menghitam. Pucat dan lesu.

"Kalian harus bicara. Satu sama lain, bukannya saling menjauh seperti ini!" gumam Fernandi sendirian sembari melangkah mendekati Oza yang tenggelam dalam lamunannya. Menarik sahabatnya itu tanpa aba-aba, tak menerima protes. Oh, Oza yang sekarang alih-alih protes, bicara pun dia tak bisa.

"Nanti aku kasih es jeruk super kecut buat kamu. Hayuk!"




💕💕💕




Seingat Oza, dirinya cuma manut diseret Fernandi sehabis kelas berakhir. Dia bahkan tak tahu bagaimana dirinya bisa berakhir di roof Kafe Biru dengan seseorang yang barusan sepertinya baru saja... membentaknya?

"Ck! Kamu denger nggak sih, aku ngomong apa?"

Mata Oza nanar menatap bagaimana minuman favoritnya kini telah berpindah ke sebuah pot tanaman besar tak jauh dari tempatnya duduk saat ini. Mubazir sekali, padahal Oza baru minum dua teguk.

"Oza Nadindra!"

Mata bulat itu mengerjap kaget takala nama lengkapnya diserukan oleh sebuah suara yang amat familier di telinganya. Cowok tembem itu mendongakkan dalam gerakan patah-patah untuk kemudian menatap nanar sosok di depannya.

"Mas..." sosok yang sudah dua minggu belakangan ini dirindukannya. Sosok itu berdiri di hadapannya, menaruh kembali gelas itu ke tatakannya dengan gerakan kasar. Meninggalkan bunyi yang sanggup menyadarkan Oza dari blank out-nya dua minggu belakangan ini.

"Kamu kan udah janji gak bakal minum ini lagi. Gak kapok apa, kemarin tumbang gara-gara kebanyakan minum ini?" lalu ekspresi garang itu tiba-tiba berubah menjadi penyesalan.

"Mas..." ada banyak yang ingin Oza sampaikan, tapi tenggorokannya yang tercekat tangis membatasinya hanya dapat mengulang-ulang panggilan tersebut dengan penuh kerinduan.

"Apa?" tatapan Alvian tak kalah nanarnya menyadari betapa kacaunya raut cowok tembem kesayangannya itu. Sedih dan marah terhadap dirinya sendiri, Alvian kembali pada kebiasaan barunya : mengutuk diri.

"Mas, aku laper..."

Alvian bengong. Sementara mata Oza sudah berkaca-kaca, tak hendak melepaskan tatapannya dari orang yang telah menyiksanya dalam kerinduan dan percampuran berbagai emosi.

"Ya udah, Mas pesen makan dulu ke Fernandi."

"Nggak mau!"

"Lah, tadi katanya laper!" sewot Alvian bercampur gemas, sejenak lupa pada rasa bersalahnya barusan.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang