Setelah perdebatan dan sibuk bermain kucing-kucingan dengan Alvian hanya agar dirinya tidak perlu mengikuti tes VCT. Di sinilah mereka berakhir, ruang tunggu di Rumah Sakit yang sama dengan tempat Alvian melakukan tes dulu. Alvian setia menunggu di luar sementara Oza masih menjalani sesi pemeriksaan di dalam. Cowok dingin berwajah rupawan itu sibuk dengan pikirannya sendiri sambil menatap jauh ke langit sore yang masih menyisakan cahaya menyengat sisa kejayaan matahari siang tadi.
Saking seriusnya bergelut dengan pemikirannya sendiri, Alvian sampai tak menyadari kehadiran Oza hingga sebuah tepukan mendarat di lengannya. Maniknya dengan segera mendapati senyum cerah milik sang kekasih. Dapat ditangkapnya gurat kekhawatiran dalam tatapan tersebut.
Alvian balas tersenyum tipis, hanya untuk memperlihatkan kalau dia baik-baik saja di hadapan Oza. Walaupun kenyataannya berbanding terbalik, dia tak ingin Oza mengkhawatirkannya. Menurutnya, Ozalah yang lebih patut untuk dikhawatirkan saat ini.
“Gimana, Mas?” tanya Oza hati-hati. Dia tahu harusnya tak langsung bertanya seperti ini. Apa daya, keingin tahuannya mengambil tempat lebih banyak, menguasai otaknya demi memerintahkan mulut untuk bertanya.
“Aku positif, Za,” sahut Alvian datar dan tenang. Dia sudah tahu, menghitung ke belakang betapa seringnya aktivitas berisiko yang dilakukannya dengan sang mantan terdahulu. Tanpa perlu tes pun sebenarnya dia sudah tahu kalau dirinya memang sudah terinfeksi. Alvian sudah lebih dari siap untuk menghadapi kenyataan, karena itulah dia tak begitu terkejut saat membaca hasil tesnya tadi.
Berbanding terbalik dengan Alvian, raut Oza sontak pucat. Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan ketidak percayaan.
“Ma-Mas, mungkin hasil tesnya keliru. Mas coba tes ulang lagi...” Oza begitu panik sampai tak mampu berpikir jernih. Tak sadar kalau kalimatnya bisa saja melukai Alvian. Bayangkan, bila Alvian benar-benar menuruti kemauan Oza dan memasang harapan palsu untuk kemudian terjatuh lagi kala mendapati hasil tes itu tetap tak berubah? Luka yang tergores akan dua kali lebih dalam.
Untunglah Alvian bukan tipe orang selemah itu. Alvian mengelus pelan rambut hitam Oza, berusaha untuk menenangkan sang kekasih yang dilanda kekalutan. Relung hatinya menghangat menyadari betapa besarnya kekhawatiran Oza atas dirinya. Melupaka fakta bahwa sekarang Ozalah yang harus dikhawatirkan. Status anak itu belum jelas sampai setidaknya tiga bulan ke depan hingga masa jendela berakhir dan hasil tes dapat dikatakan valid.
“Aku baik-baik aja, Za. Aku masih hidup dan tidak akan langsung mati setelah ketahuan positif HIV.” Oza menatap mata Alvian yang teduh menenangkan. Membuat Oza malu dengan dirinya sendiri. Seharusnya di saat seperti ini, dialah yang menghibur dan menguatkan Oza. Bukan malah sebaliknya.
“Mas udah putuskan, hingga minggu depan Mas akan pindah secepatnya.”
Kalimat Alvian barusan terdengar seperti bunyi petir di siang bolong di telinga Oza. Dia tahu kalau Alvian hanya sedang panik dan pusing saja. Ucapannya jadi tidak dapat dikontrol.
“Tidak ada yang akan pergi, Mas. Mas harus tetap tinggal di rumah Mas sendiri. Kalau Mas mau ngusir aku, bukan kayak gini caranya!” lihat, sekarang justru Oza yang balik mengutuki dirinya sendiri. Dia memang terlalu gampang untuk tersulut.
“Aku nggak ngusir kamu, Za! Kamu nggak ngerti—”
“Aku sayang banget sama kamu, Mas. Cinta mati sama kamu, apa adanya kamu. Aku nggak mandang kamu sekarang adalah ODHA, aku cuma tau kalau Oza Nadindra ini cinta mati sama Alvian Prassana!” potong Oza lantas menggenggam jemari Alvian, “Dan aku tau kalau cinta kamu ke aku jauh lebih besar dari yang aku bayangin. Stop dengan semua ketakutan kamu, Mas. Kita jalani ini bersama-sama tanpa harus saling mengucapkan kata pisah. Aku nggak pernah nyalahin kamu atas apa yang kita gak sengaja lakuin dulu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
Algemene fictieBased on true story. Special thanks to Bangata for his inspirative story. Also big thanks to @KucingMonster97 for the cover. Cerita ini mengandung unsur BxB alias homo. Silakan balik kanan bila kamu adalah homophobic. "Jauhi penyakitnya, bukan oran...