Part 2. Mukamu Ketat!

616 66 27
                                    

Oza juga tak mengerti kenapa dia bisa sesensi itu pada Alvian. Padahal kalau dipikir-pikir, Alvian tak bersalah. Dan kalau dipikir lebih dalam lagi, respon Alvian sebenarnya sudah lumayan dibanding saat pertama kali mereka berkenalan beberapa hari yang lalu. Alvian sudah-setidaknya- berusaha membalas walaupun hasilnya super garing.

Cowok tembem itu menoleh pada ponselnya dan kembali mendesah, menggeram jengkel kala teringat chat-nya dengan seseorang yang berhasil menghancurkan mood-nya beberapa jam ke belakang. Kalau dipikir ulang, tujuan awal Oza datang ke kafe adalah untuk melupakan masalahnya. Yang sebenarnya juga adalah masalah sepele, andai saja Oza tidak tercipta sebagai homo gampang sensi seperti ini.

'Kakak masih sayang sama kamu, dek...'

Oza kembali berguling-guling tidak jelas di kasurnya. Akal sehatnya mulai bekerja. Tidak mungkin orang itu benar-benar sayang padanya. Paling-paling hanya napsu. Oza tak percaya lagi pada cinta. Sejak cowok itu mengkhianatinya dan lebih memilih untuk menuruti keinginan orangtuanya untuk menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Oza resmi mem-black list cowok itu dari hatinya. Tak peduli meski cowok itu adalah cinta pertamanya yang sekaligus juga orang pertama yang telah membobol gawangnya. Oza tak peduli. Terlalu sakit dirasakannya saat melihat sang mantan masih dapat tersenyum di hari pernikahannya. Jadi selama ini Oza dianggap apa? Tempat pembuangan sperma, begitu?

Sudah tiga tahun berlalu sejak Kak Icuk, mantan pertama dan satu-satunya Oza itu menikah. Dan berarti sudah tiga tahun pula mereka lost contact sama sekali. Oza tidak tahu dari mana Kak Icuk mendapatkan kontak WA-nya, tapi satu yang pasti Oza sukses galmov akibat kata-kata Kak Icuk diawal paragraf tadi. Galmov yang berujung sensi. Oza tidak tahu harus balas apa lagi, tapi Oza juga sadar kalau seharusnya sejak awal dia tak mengacuhkan chat dari Kak Icuk. Bagaimana pun juga, Kak Icuk adalah pacar pertama sekaligus mantan satu-satunya, hal itu tentu saja sedikit banyak mempengaruhi Oza. Intinya Oza galau, gabut, butuh liburan(?)

Oza mengusap kasar wajahnya, mencoba menghalau segala bayang-bayang Kak Icuk. Mencoba menyadarkan diri, mendengarkan hati. Mengembalikan akal sehatnya ke tempatnya semula. Memangnya apa yang bisa diharapkannya dari kata-kata Kak Icuk itu? Bukankah tak ada lagi kelanjutannya? Apa yang salah dari kata masih sayang itu? Kak Icuk bisa saja memang hanya sedang kangen saja.

Tidak mengajaknya balikan, bukan?

Kak Icuk tak mungkin meninggalkan istrinya. Kalaupun misalnya Kak Icuk ingin menyambung kembali hubungan mereka yang telah kandas, tanpa meninggalkan istrinya saat ini. Itu jelas tidak mungkin! Homo-homo begini Oza masih punya nurani! Dia tak ingin menjadi perebut suami orang. Walau jauh di dalam hatinya, Oza masih belum bisa menghapus bayang-bayang masa lalunya dengan Kak Icuk, semua kenangan manis itu. Tapi manusia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang masa lalu, bukan?

Move on!

Kampret mana yang menciptakan kalimat sakti nan menyebalkan itu? Dan bagian tersialnya, Oza harus mengakui kalau hal itu memang satu-satunya hal yang harus dilakukannya saat ini, sesegera mungkin demi kelangsungan kestabilan emosinya.

Sekali lagi Oza mengusap kasar wajahnya. Ya Tuhan, semoga Alvian tidak sampai jadi il-feel padanya gara-gara tingkah kekanakannya di kafe beberapa jam ke belakang. Oza lantas mengerutkan alisnya heran. Kenapa kali ini dia begitu peduli dengan reaksi orang lain terhadap masalah kestabilan emosinya? Sebelumnya, Oza tak pernah mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Terserah mereka mau melihatnya seperti apa, mereka bebas mikir apa saja tentang Oza. Sama bebasnya seperti Oza yang akan berbuat apapun sesuka hatinya tanpa peduli akan omongan orang di belakangnya.

Lalu kenapa kali ini berbeda?

Oza tersentak kala bunyi notif WhatsApp masuk ke ponselnya. Dengan jantung yang berdetak kencang, cowok berpipi gembil itu meraih ponselnya dan memberanikan diri untuk melihat siapakah gerangan yang barusan mengiriminya pesan.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang