Hari ini adalah hari besar, hari perpisahan pada kesibukan yang mengisi dua tahun masa putih abu abuku. Aku pensiun menjadi ketua OSIS.
Sudah terpilih ketua dan pengurusnya secara lengkap. Sudah di latih kepemimpinannya, dilantik untuk membawa amanah yang lebih besar. Aku percaya mereka mampu melanjutkan perjuangan ku dan teman teman sebelumnya.
"Mba In, foto ya sama ketua baru." Kata Rani, yang sekarang menjabat menjadi sekretaris OSIS menggantikan Amanda.
"Kan udah tadi." Kataku.
"Lagi mba tadikan resmi sekolah yang ngefoto, ini Sony yang minta katanya buat kenang kenangan." Jelas Rani.
Aku menoleh menatap Sony, ia terlihat ragu namun akhirnya menghampiriku.
"Bohong mba, aku ga minta. Tapi kalo Mba Indira mau, aku siap nih foto bareng. Kita kan ngga pernah foto mba." Kata Sony, ketua OSIS baru. sebelumnya ia adalah wakil ketua OSIS dua. Sejak awal aku yakin ia memiliki potensi, dan ia membuktikannya.
Aku tertawa pelan, "Boleh boleh. Kapan lagi foto sama orang penting?"
Tidak butuh waktu lama untuk memfoto dua ketua di masa yang berbeda.
"Semoga amanah, Son. Kalau ada apa apa bilang aja, aku dan temen temen berusaha bantu." Kataku entah yang keberapa kali.
Sony mengangguk. "Makasih mba In."
Aku akhirnya pergi dari kerumunan pengurus baru, hendak ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Sekarang aku benar benar siswi SMA, tanpa rapat. Mungkin sebagai tambahan, aku mengikuti tambahan pelajaran, persiapan menuju perguruan tinggi.
"Yah, bu ketos lengser." Kata Andi, salah satu gerombolan Aras. Selesai upacara adalah waktu yang tepat untuk mengumpul, karena jam masuk kelas pasti mundur.
Aku tersenyum, "Lengser dong, masa aku terus." Kataku.
"Gapapa gajadi bu ketos. Jadi ibu buat anak anakku aja ya, In." Kata Andi, disambut tawa oleh teman temannya.
Aku menggeleng mendengarnya.
"Ras, berani beraninya ras." Itu Ergi, gerombolan Aras juga, ia menyikuti Aras pelan laki laki itu diam saja sejak tadi.
"Loh loh, Aras kan udah dipecat jadi bapak ketos, ya In ya?" Andi mulai lagi.
Saat aku dan Aras berpacaran, Teman teman Aras mengatakan Aras mengaku dirinya 'Bapak Ketos', menjawab semua pertanyaan siapa bapak dari jabatan ibu yang aku dapat. Aku tidak percaya, hingga aku tidak sengaja mendengar Aras mengatakannya sendiri di depan Shella. Aku tertawa.
"Bentar bentar," Andi menjeda, ia menempelkan telinganya pada dada Aras, membuat teman teman sekaligus diriku sendiri penasaran. "Ndy! Kata hati Aras, kamu mantan terindah, dia terjebak nostalgia."
Aku tersenyum geli, lalu menggeleng segera pergi, meninggalkan gerombolan itu yang tertawa keras dengan lelucon Andi. Ekor mataku sempat melihat Aras, ia tidak tertawa, hanya tersenyum tipis.
***
*ddddrrrrrttttt
Handphone ku bergetar ketika aku hendak mandi, setelah pensiun menjadi ketua OSIS aku jadi pulang tepat waktu, setelah adzan ashar aku sudah berada di rumah dan langsung bisa membersihkan diri tanpa khawatir rematik.
In
Aku membaca pengirim pesan itu dengan terkejut. Fadil mengirimi ku pesan?
Iya? Jawabku singkat.
Satu pesan itu membuka kehadiran Fadil. Sekaligus awal kedekatan kami, setelah ia sempat hilang.
Apakah aku masih bisa menerimanya? Aku ragu. Di dalam lubuk hatiku, samar samar masih ada nama Aras. Ini terdengar memalukan, namun kenyataan yang ada, aku bukan tipe yang mudah mencari orang baru, menjalin hubungan baru, memberi kepercayaan kembali kepada orang baru, tidak semudah itu, walaupun sebelumnya ini pernah mudah untuk Fadil, namun bukan salah keputusanku kan? Mengapa dulu ia hilang dan membiarkan Aras mengisinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Baik, Nugi
Sonstiges"Aku sayang kamu." "Aku sayang aku, juga." "Kok gitu?" Tanyanya heran, raut wajah Nugi terlihat kecewa. "Iya." Jawabku tersenyum, malu. "Kenapa? Apa yang lebih spesial daripada menyangi orang yang sama?" Tanyaku kemudian. Aku menyangi diriku sendi...