Kabar

13 0 0
                                    

"Kalian beneran putus?" Tanya Nia ketika aku menemuinya di Kantin.

Aku mengangguk pelan.

"Kenapa?! Baru satu minggu kan!"

Aku diam saja, membiarkan perempuan itu berbicara tidak henti hentinya.

"In, kenapa In?!" Tanya Nia lagi, ia mulai memaksa.

Aku masih diam. Sejak Fadil menjawab pesanku dengan kalimat 'yaudah' aku tidak membalasnya lagi, dan Fadil tidak mengirim pesan juga. Aku sakit hati. Ini baru seminggu dan aku sakit hati.

Aku memang tidak menangis, namun kecewa? Aku tidak menyangka Fadil akan begitu saja membiarkan hubungan ini selesai.

"Aku mau ke kelas." Kataku mengabaikan pertanyaan Nia.

Ketika aku bangkit, bersamaan dengan kehadiran Fadil di pintu kantin. Kami bertatapan beberapa detik.

"Nah ini dia." Nia menarik tanganku, lalu menuntunku berjalan mendekati Fadil.

"Ni." Aku berusaha menolak.

Nia tidak memperdulikanku. Ia juga menarik tangan Fadil, membawa kami berdua ke belakang kantin. Ada dua kamar mandi disana, tak jauh dari kamar mandi, ada markas tempat anak laki laki biasa merokok. Aras salah satunya.

"Sekarang jelasin, kenapa kalian putus?"

Fadil dan aku diam. Kami bahkan tidak saling bertatapan lagi.

"Baru satu minggu, lo!" Kata Nia, ia berkacak pinggang, seperti sudah kesal dengan kami berdua. Padahal kan, ini hubunganku dengan Fadil.

Aku menghembuskan nafas pelan, melirik Fadil sebentar lalu menatap Nia. "Kalo mau bahas ini, aku ngga ada waktu. Aku mau ke kelas."

"In, gabisa gitu." Nia menahan langkahku untuk pergi.

"Udah biarin aja, Ni." Fadil buka suara. Ia langsung berlalu meninggalkan aku dan Nia berdua. Harusnya aku yang meninggalkan mereka kan?

Nia menggelengkan kepala, lalu menyusul Fadil kembali ke kelas. Aku mengetahui itu, karena langkahnya tidak lagi mengarah ke kantin. Mungkin kenyang karena bertemu denganku. Sebegitu menyebalkan kah aku?

****

"Fik, aku mau duduk disini. Bisa pergi dulu?" Aku menghampiri Fikri dan Ergi, Mereka teman sebangku. Hari ini, jam pelajaran bahasa inggris kosong karena bu Ros harus ke rumah sakit. Kelas kami hanya diberikan tugas lks.

Fikri menatapku tajam, ia diam saja.

"Fik hari ini kamu sama yang lain dulu ya. Aku mau sama Indira." Kata Ergi, membantuku. Sepertinya ia sudah mengerti.

Biasanya aku duduk dengan Ergi ketika hendak cerita berdua. Cerita yang tidak bisa sekedar disampaikan lewat pesan singkat. Jadi harus bertatap muka untuk membahasnya.

Fikri masih diam, tidak berkutik dari tempat duduknya.

"Jangan cemburu begitu, cuma sebentar kok." Kata Ergi dengan senyum jailnya, alisnya naik turun merayu Fikri untuk bergantian tempat denganku.

"Yowes." Kata Fikri akhirnya bangkit. Ia ini memang teman sejatinya Ergi di kelas. Kemana mana dengan Ergi, dihukum juga dengan Ergi. Paling malas kalau harus berbaur dengan yang lain, tapi dia bukan bagian dari gerombolan Aras. Aku juga tidak tahu kenapa, padahal mereka satu tipe.

"Ada apa?" Tanya Ergi ketika aku sudah duduk disampingnya. Tangannya ia gunakan untuk menadah kepala, menatapku dengan intens.

"Aku putus." kataku singkat.

Kabar Baik, NugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang