2019
Hari ini, Palembang diguyur hujan. Rintik rintik air yang turun dari langit, menghalangi langkahku untuk segera pulang. Bersamaan dengan itu, handphone dalam tas kerjaku bergetar, biasanya ada pesan masuk atau notifikasi instagram.
Benar, satu pesan dari aplikasi Line. Namanya tidak terbaca karena layarnya terkunci.
Mataku membulat membaca namanya dalam hati. Nama yang bahkan sudah hampir hilang, dan tiba tiba muncul dengan satu kabar.
Nama yang bahkan belum ku tambahkan di daftar kontak, Fadil Nugi Akbar.
Halo Indira, apa kabar?
Hanya satu kalimat, namun mampu memicu kerja jantungku menjadi lebih cepat. Aku tidak percaya ia mengirimiku pesan, Apa ini benar Nugi? kubuka foto profil yang ia pasang untuk memenuhi rasa penasaranku. Laki laki berwajah putih bersih, ada campuran Inggris atau Spanyol atau keduanya di wajah lelaki itu, mungkin? Yang jelas bukan wajah Indonesia asli, ia memakai jaket hitam dan kaos abu abu, berada di sebuah tempat dengan latar belakang kelap kelip cahaya yang buram, wajahnya bahkan belum berubah, masih tampan.
Bibirku tertarik sedikit, tiba tiba ingatanku memutar kilas balik, kurang lebih delapan tahun yang lalu. Ketika dirinya datang dengan sebuah pesan juga, namun isinya berbeda.
*dddrrrttttt*
(Anggap saja ini menggunakan bahasa Jawa, kecuali aku memberikan keterangan lain.)Presentasimu dapet jamur juga?
Indira menatap layar notebook yang sejak tadi membuka jendela facebook, kebiasaannya ketika mencari tugas di internet. Ada satu pesan masuk disana, dari Fadil Nugi Akbar.
Keningku berkerut sebentar, mengingat ngingat. "Oh." Ucapku pada diri sendiri.
Aku mengetik jawaban, Iya.
Disuruh apa aja? Belum ada satu menit, sudah ada balasan masuk.
Ngga dijelasin emang?
Lupa hehe. Suruh ngapain sih?
Indira mengetik penjelasan presentasinya agak panjang, tidak keseluruhan namun menurutnya cukup jelas. Hanya sekitar dua menit, lalu sudah ia kirim kembali.
Okedeh. Makasi ya.
Sama-sama.
Lalu ia melanjutkan mencatat tugasnya.
***
2013
SMA Angkasa Biru, salah satu sekolah menengah atas favorit di Kota Surabaya.
Ini bukan sekolah impianku, namun kenyataan status anak luar kota menuntunku kemari. Status yang tidak di prioritaskan, sekaligus terbatas di setiap sekolah. Kadang hanya 30 anak per 700 siswa, kapasitasnya disesuaikan dengan jumlah siswa yang diterima. Semakin sedikit siswa, maka kapasitas semakin kecil. Persaingan semakin ketat, tidak kuat, siap siap tersingkir. Aku tidak kuat.
Masuk bukan dengan kebanggan tidak membuat ku putus asa. Di sekolah ini aku banyak menemukan motivasi, motivasi mengembangkan diri dengan optimal dan membawa perubahan baik disini.
Mamahku mengatakan, "Berlian jika ditaruh di lumpur sekalipun, tetaplah berlian." Aku percaya itu, dan kepercayaanku yang membawa pada pencapain yang aku dapat setelahnya.
Sejak kelas satu aku berhasil menerima gelar juara umum di jurusan ipa. Tenang, itu hanya sekali, karena setelah itu aku mulai kelabakan, tapi bersyukur masih diberi kemampuan untuk masuk di deretan 10 besar di semester semester selanjutnya. Di kelas dua aku berhasil mendapat amanah menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah, nama ku bukan hanya Indira tapi 'bu ketos' jangan tanyakan aku siapa ayahnya.
Hingga sekarang dikelas tiga, aku dijadikan salah satu harapan sekolah untuk lolos pemilihan mahasiswa melalui jalur rapor, kami menyebutnya SNMPTN. Jika ada yang bertanya keadaanku, aku baik baik saja, aku tidak terkekang, itu tujuanku. Mungkin sesekali bosan, manusiawi. Tapi dibalik pencampainku, aku tetap siswi SMA. Aku mengenal virus merah jambu dengan baik, salah satunya melalui Nugi.
(Dialog berbahasa indonesia, aku biasa menggunakan bahasa resmi ini pada kebanyakan orang, seperti yang lebih tua, anak kecil dan perempuan. Laki laki? Hanya ketika kita dekat, sebut saja pedekate, Mengingat aku adalah orang pindahan, tidak mudah mempelajari bahasa Surabaya.)
"Kamu putus sama Bang Dany, In?"
Aku mengangguk.
"Kok ngga ada sedih sedihnya?"
"Udah kemaren."
"Apaan kemaren?"
Aku menggidikkan bahu. Kabar putusku dengan Dany sepertinya sudah tersebar. Hubungan 1 tahun 2 bulan itu akhirnya kandas. Kakak kelas 1 tahun sekaligus Kapten tim sepak bola berpacaran dengan ketua osis SMA Angkasa Biru, katanya kami ini pasangan serasi, dua siswa terkenal yang menyatu karena perasaan merah jambu. Ah apa guna dipuja puja, kalau takdir sudah mengatakan selesai akhirnya selesai juga.
LDR memang tidak pernah mudah, boleh salahkan aku yang sok berani menghadapinya. Sulit ketika orang yang tidak pernah absen dilihat mata, harus menghilang. Tidak tahu sedang apa, tidak tahu bersama siapa. Tidak bisa dipandang ketika istirahat tiba, hanya untuk sekedar melepas rindu. Dua hari sabtu minggu tidak bertemu harus berganti dengan seminggu atau bahkan sebulan, sama sama sibuk atau sudah bukan prioritas? Aku tidak tahu. Sudah lupakan.
"Terus bang Dany gimana?" Tanya Shella sepertinya masih penasaran.
Aku menggidikan bahu lagi. "Dia belum absen nanyain kabar." Jawabku.
"Masih sayang dia tuh. Lagian kok bisa putus? Kenapa?"
"Udah waktunya." Jawabku singkat.
"Terus sekarang sama siapa?"
"Belum tau. Liat nanti."
Belum ada satu minggu, beberapa laki laki sudah bertengger di kotak pesan. Sekedar nanya sedang apa atau informasi sekolah yang berujung ke pertanyaan sudah makan apa belum. Sebut saja, modus.
Tapi, satu nama mengalihkan perhatian ku, yang setidaknya aku respon, dari Naufal Arrazy. Anak 12 IPS 3. Bagian dari deretan laki laki yang 'dikatan' tampan di SMA Angkasa Biru. Ia menemani masa awal lajangku.
Aku mau kita kedepannya lebih baik. Pesan darinya seminggu lalu, berhasil membuatku kebingungan karena tidak tahu maksudnya.
Apa yang lebih baik? Aku bertanya.
Nanti kamu juga tau.
"Naufal sama Alika pacaran?" Tanya Shella yang duduk disampingku.
"Apa?!" Aku agak kaget.
"Liat sendiri nih."
Aku mengambil benda segi empat itu dari tangan Shella. Ia sedang membuka profil twitter Naufal, tidak ada yang berubah kecuali sudah bertengger satu nama di bio twitternya. Alika.
"Sejak kapan?" Tanyaku.
Shella menggidikan bahu. "Kayaknya baru. Kemaren masih kosong."
"Oh." Ucapku menenangkan diri sendiri. Membuktikan satu dari banyak contoh, saling berkabar tidak menjanjikan untuk bersatu. Ini bukan kisahku dengan Naufal. Tapi ia sempat mengisi masa putih abu abuku, masa sebelum Nugi mengisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Baik, Nugi
De Todo"Aku sayang kamu." "Aku sayang aku, juga." "Kok gitu?" Tanyanya heran, raut wajah Nugi terlihat kecewa. "Iya." Jawabku tersenyum, malu. "Kenapa? Apa yang lebih spesial daripada menyangi orang yang sama?" Tanyaku kemudian. Aku menyangi diriku sendi...