"In, liat cerdas cermat yuk." Anita menarik tanganku, membuat tubuhku yang baru saja lima belas menit berisitirahat akhirnya bangkit lagi. Aku masih lelah.
"Ngapain sih, Ta?" Tanyaku seadanya, langkahku mengikuti saja arah Anita.
"Ngga mau liat kelas kita? Karina yang maju lomba."
Agenda hari ini, setelah jalan sehat ada serangkaian lomba. Salah satunya cerdas cermat. Karena masih semester pertama, kelas dua belas diizinkan ikut.
Sesuai kesepakatan ketua kelas, Karina akan mewakili kelas kami. Soal soalnya tidak sesuai peminatan ipa atau ips, menurut keterangan pengurus OSIS, ini mencakup umum dan informasi sekolah. Jadi pertanyaan semacam nama panjang kepala sekolah dan nama panjang beberapa guru, kemungkinan besar keluar. Aku yakin Karina sudah mempersiapkannya, atau ia sudah tahu lebih dulu. Maklum, salah satu anak berprestasi. Namanya belum bosan tercantum di deretan sepuluh besar juara umum.
"Pasti menang kok Karina." Kataku lemas.
"Belum tentu. Ayo nonton!" Ajaknya.
Cerdas cermat ini diadakan di lapangan utama, ada panggung kecil dan tratak disana. Rencananya dipenghujung acara akan diadakan pentas seni sederhana, pengisinya tak lain perwakilan kelas.
Banyak siswa siswa yang menonton, cukup antusias karena mekanisme lombanya agak berbeda. Semua peserta diberi selembar kertas bertuliskan salah dan benar. Menjawabnya cukup menaikan kertas dengan sisi yang salah dan benar.
Aku dan Anita menonton dari atas panggungnya, karena panitia memilih untuk memberi pertanyaan langsung di depan peserta, alhasil panggung kosong, yang langsung dikuasi oleh siswa tingkat teratas, kelas dua belas. Termasuk aku, Anita, dan gerombolan Aras.
Saat cerdas cermat mulai aku memilih memperhatikan Aras dengan gitarnya, lelaki itu berbanyi entah lagu apa sambil memandangku beberapa kali. Jika ia masih pacarku, mungkin akan menjadi hal yang manis sekaligus lucu.
"In, ada Fadil tuh." kata Anita menyenggol lenganku.
Aku menengok.
Sebenarnya aku sudah tahu. Saat kami sampai tadi, orang yang pertama kali kulihat adalah Fadil. Lagipula aku tidak kaget dengan kehadiran dirinya, ia salah satu anak terpintar di kelas. Mengutusnya menjadi perwakilan kelas bukan keputusan yang salah.
"Liatin kesini tuh." Kata Anita lagi.
Mataku dan mata Fadil bertemu, jika ia masih pacarku, aku akan tersenyum dan menyemangatinya. Tapi nyatanya aku bukan, jadi aku hanya diam saja. Malah membuang pandangan, memilih menatap Karina.
Kadang aku merasa diriku terlihat serakah, mengandai andai dua lelaki itu masih bersamaku. Sebenarnya hatimu itu pada siapa sih, In?
Tapi jauh dilubuk hatiku, tanpa siapapun tahu, kecuali kalian yang membaca cerita ini. Aku sedang tersenyum, aku mengharapkan Fadil yang menang. Apakah ini tandanya aku lebih memilih Fadil?
"Ciye, Fadil bener tuh." Anita tersenyum mengatakannya.
Aku lagi lagi hanya diam. Peserta yang semula penuh semakin berkurang. Mekanisme lain, ketika jawaban salah maka dianggap gugur.
"Katanya mau liatin Karina, kok jadi Fadil, Ta?" Tanyaku, sejak tadi Anita seperti notifikasi terhadap proses Fadil selama lomba ini berlangsung.
"Paling juga kamu senang aku kasih tahu. Coba tadi di kantin terus, mana bisa liat Fadil pas lomba."
Aku tersenyum. Anita benar.
"In!"
Aku menoleh ke arah lain, Nia memanggilku. Ia melambaikan tangan, memintaku menghampirinya.
"Ta, aku kesana dulu ya."
Anita ikut menoleh mengikuti arah tempat Nia berada, ia mengangguk. "Nanti kesini lagi kan?"
"Iya." Kataku singkat.
Nia terus memperhatikanku dari kejauhan seperti pengamat handal yang menunggu mangsa datang, membuatku heran. "Ada apa, Ni?"
Ia menarik tanganku, mengajaknya masuk ke kelasnya. Kelas Fadil. Perasaanku saja atau teman temanku gemar sekali menarik tanganku? "Kemana?'
"Bentar." Ia menekan pundakku, memberi perintah duduk. Aku patuh. Ku lihat kelas ini hampir kosong, hanya ada dua anak lelaki yang sibuk dengan laptop, bermain game yang tidak aku mengerti, lalu hanya aku dan Nia.
"Ada apa sih?" Tanya ku lagi.
"Semalam, aku udah bicara sama Fadil."
"Bicara?" Tanyaku, apakah Nia dan Fadil bertemu hanya untuk bicara? Jangan bilang aku cemburu.
Nia menggeleng sambil tersenyum, seperti bisa membaca pikiranku. "Maksudku sms. Cerita tentang kamu."
"Cerita apa?!" Aku mulai antusias, penasaran bagaimana Fadil menceritakan 'aku'.
"Tanya sama Fadil sendiri."
Aku mengalihkan pandangan, bagaimana bisa bertanya pada Fadil? Jelas jelas kami sudah putus, sudah tidak ada hubungan apalagi keperluan hanya untuk bertegur sapa.
"Fadil bilang, dia sebenernya ngga mau putus."
Kepalaku reflek menoleh, menatap Nia dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan. Aku kaget, senang tapi juga kecewa. Kalo ia tidak mau putus, lalu kenapa membiarkan saja.
"In, Fadil bilang ke aku tolong bilangin Indira aku masih sayang Indira. Kalo Indira masih mau balikan, aku mau usaha."
Bibirku perlahan lahan melengkung sempurna, ini terdengar kabar baik yang membuat hatiku berbunga bunga. Begitu kah Fadil mengatakannya?
"Gimana?" Nia meyakinkan ku.
Aku diam sebentar, menatap ke arah lain dan berhenti pada pintu kelas Nia yang terbuka lebar. Aku melamun beberapa detik, hingga seseorang tiba tiba muncul dari sana. Ia terlihat agak kaget melihatku lalu kembali biasa saja, bahkan tidak memutuskan masuk.
"Aku keluar dulu, Ni. Takut Anita nyariin." Kataku langsung bangkit, lebih tepatnya tidak mau menahan Fadil. Aku yakin ia segan karena ada aku didalam kelasnya. Atau perasaanku saja.
Belum selesai melangkah keluar kelas, tiba tiba tubuhku berhadapan dengan Fadil. Bertemu karena berpapasan masuk melalui bagian yang sama. Aku menunduk, langkah kaki kami beberapa kali berlawanan sehingga tidak ada yang masuk ataupun keluar. Aku menunduk.
Nafasku menjadi sulit, jantungku tiba tiba berdetak lebih cepat dari keadaan normal. Ini kenapa?
Aku diam saja, beberapa detik setelahnya Fadil mendahului melangkah ke arah yang lain, membuat jalan agar aku bisa melaluinya. Aku mengadah, dan aku yakin Fadil tersenyum padaku saat itu.
Ketika aku menghampiri Anita, ia sudah tidak lagi menyaksikan cerdas cermat, sudah sampai final dan nampaknya Fadil sudah kalah. Anita Memilih berkumpul dengan Aras dan teman teman.
"Kemana aja, In?" Tanya Anita ketika sadar akan kehadiranku.
"Biasa." Kataku, lalu duduk disampingnya. Entah apa yang aku pikirkan, aku mengambil handphone di saku, ku buka kotak pesan dan mengetikan sesuatu disana.
Bilang Fadil, aku mau.
Sent.
Aku tersenyum ketika pesan itu sudah terkirim, kumasukan lagi handphonenya. Rasanya aku ingin tersenyum terus.
"Kirim sms ke siapa, In?" Tanya Anita penasaran.
Aku menggeleng. "Ta, aku ke kelas ya."
Ia mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Baik, Nugi
Random"Aku sayang kamu." "Aku sayang aku, juga." "Kok gitu?" Tanyanya heran, raut wajah Nugi terlihat kecewa. "Iya." Jawabku tersenyum, malu. "Kenapa? Apa yang lebih spesial daripada menyangi orang yang sama?" Tanyaku kemudian. Aku menyangi diriku sendi...