Hari ini SMA-ku ber-ulang tahun, ke tigapuluh sembilan. Tidak ada pelajaran selain serangkaian acara dari anak anak OSIS.
Seharusnya banyak anak membolos hari ini, termasuk gerombolan Aras yang tidak akan menyianyiakan jatah liburan. Tapi kemarin sebelum pulang sekolah, diumumkan akan tetap ada absen. Siapa saja yang tidak masuk tanpa keterangan akan berhadapan dengan bimbingan konseling.
Ini menguntungkan bagi acara OSIS, tandanya acara yang susah payah mereka siapkan tidak akan sepi. Tapi juga membosankan bagi beberapa anak yang tidak suka berlama lama di sekolah tanpa tujuan pasti.
"In, kita cepetan dikit yuk." Kata Anita mengajakku lebih cepat. Pagi ini acara dimulai dengan gerak jalan bersama. Rutenya cukup jauh, dan melelahkan.
Aku mengangguk. Mengikuti Anita dari belakang.
"Jadi bener ya, kamu sama Fadil udah putus?"
Anita membahasnya. Aku dan Anita memang dekat. Kami baru sekelas di tahun terakhir SMA. Tapi sudah bersama sama di OSIS sejak rok kami masih biru tua, hingga abu abu pun Anita masih bagian dari OSIS.
Aku mengangguk. "Udah nyebar?"
"Nebak aja sih. Abis kalian diem dieman gitu."
Aku menoleh, "Emang kamu pernah liat aku sama Fadil ngobrol?"
Anita mengangguk.
"Kapan?" Tanyaku penasaran.
"Di tangga ruang guru, kan?"
Aku diam sebentar, mengingat ngingat. "Oh iya. Kok kamu tahu, Ta?"
Anita tertawa pelan.
Aku mengangguk, mulai paham. "Oh, pasti lagi pacaran ya sama dedek gemes? Siapa namanya, aku lupa deh." Aku baru ingat, pacar Anita kelas 11, ia pasti melihatku dari kelas pacarnya. Kelas 11 memang memiliki bangunan sendiri, berhadapan dengan kelas dua belas dan ruang guru.
"Ali, In." Ia menjawab dengan tersenyum.
"Ngga usah senyum senyum gitu dong jawabnya." Aku menyenggol lengannya. Yang aku tahu, Anita dan Ali baru saja jadian.
"Kalian lucu tahu kalau lagi ngobrol begitu." Kata Anita.
"Kalian siapa?"
"Kamu dengan Fadil."
Aku tersenyum, semoga saja pipiku tidak memerah.
"Ngga usah senyum senyum gitu dong dengernya." Kata Anita meniru ucapanku, kami berdua tertawa. Perempuan memang selucu ini. Bisa dengan mudah tersenyum, mudah juga tersakiti.
"Eh, itu Bianca. Kesana yuk!" Ajak Anita menarik tanganku.
Aku tidak menolak, ini kesempatan bagus untuk membicarakan Fadil pada Bianca.
"Bianca!"
Yang menoleh bukan hanya Bianca, tapi beberapa orang disekelilingnya juga ikut menoleh. Reflek.
"Ih kenceng banget sih." Kataku menahan malu.
"Anita! Indira!" Bianca memberhentikan langkahnya, menungguku dan Anita.
"Bareng ya." Kata Anita ketika kami sudah sejajar.
Bianca mengangguk.
Aku menatap Bianca agak lama. Bianca ini terkenal di sekolahku, salah satu siswi tercantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam bergelombang. Banyak kaum adam yang mengaguminya, banyak pula yang dibuat sakit hati karena ditolak, atau merasa mendapat harapan palsu.
Padahal yang aku tahu, hatinya hanya untuk satu orang. Bakti Prayoga. Anak 12 IPA 3. Orang orang bilang, Bianca dan Bakti adalah pasangan serasi. Cantik dan tampan. Tapi sayang, keduanya memilih tidak meresmikan hubungan. Entah karena apa, yang kudengar Bakti akan melanjutkan sekolahnya ke London.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Baik, Nugi
Random"Aku sayang kamu." "Aku sayang aku, juga." "Kok gitu?" Tanyanya heran, raut wajah Nugi terlihat kecewa. "Iya." Jawabku tersenyum, malu. "Kenapa? Apa yang lebih spesial daripada menyangi orang yang sama?" Tanyaku kemudian. Aku menyangi diriku sendi...