Kepastian

19 0 0
                                    

"Indy!" Seorang perempuan memanggilku, namanya Nia, anak 12 Ipa 5. Rambutnya pendek sebahu, tubuhnya agak berisi dan tidak lebih tinggi dariku, kulitnya putih dan matanya sipit. Teman satu kelas di 11 Ipa dulu, walaupun sudah berbeda kelas, kami masih berhubungan baik.

Aku menoleh, memberhentikan langkahku sambil tersenyum. "Nia!"

Nia berdiri dihadapanku agak ngos ngosan. "Ciye yang lagi deket sama temen sekelasku." Katanya.

Nia sekarang satu kelas dengan Fadil.

Aku tersenyum mendengarnya, apakah sudah tersebar?

"Serius?!" Shella yang juga berada disampingku terkejut, ia menatapku meminta penjelasan. "Cerita dong!"

"Iya nanti kalo udah pacaran ya, Shell." Kata Nia menjawab pertanyaan yang tidak ditujukkan padanya.

"Sejak kapan?" Tanya Shella lagi. "Akhirnya deket lagi?"

"Tanya aja Indi." Jawab Nia menunjukku.

Aku menggidikkan bahu, memilih melanjutkan tujuanku ke kantin untuk mengisi perutku yang kosong sejak pagi.

Aku terbiasa berangkat sekolah dengan waktu yang mepet, biasanya aku baru tiba lima menit sebelum bel masuk atau tak jarang berpapasan. Sehingga sering kali tidak sarapan.

Jangan sangkut pautkan dengan title ketua OSISku, setidaknya aku tidak terlambat. Bukannya menunda untuk segera berangkat, aku hanya tidak suka terlalu lama menunggu jam pelajaran dimulai. Lagipula seringkali aku sudah mengerjakan tugas ku di rumah, jadi tidak ada alasan berangkat pagi karena tugas belum selesai.

Selama di kantin, Shella masih bertanya, menggali informasi dengan pertanyaan yang membuatku agak pusing menjawabnya.

"In, Fadil tuh!" Kata Shella menyenggol lenganku beberapa kali.

Aku belum menoleh, masih sibuk melahap mie goreng yang ku pesan.

"In, kesini dia In." Kata Shella masih berusaha, kali ini senggolannya begitu keras hingga mengganggu sarapan pagiku.

Aku menoleh, beberapa detik bertatapan dengan Fadil. Senyumku hampir terbentuk, bersamaan dengan lelaki itu tepat di belakangku. Namun, hal yang terjadi ia berlalu begitu saja. Membayar es milo yang entah kapan ia memesannya, lalu pergi.

Apa dia ngga liat ada aku disini? Aku bertanya dalam hati, mengembalikan posisiku menatap mie goreng yang hampir habis.

"Loh loh, kok gitu? Ngga nyapa, In?" Tanya Shella, sepertinya ia juga tidak menyangka dengan respon Fadil.

"Ngga liat kali." Jawabku agak ragu.

"Ah masa sih? Orang jelas jelas tadi dia di belakang persis." Kata Shella.

Aku diam. Melanjutkan makan.

"Kok temen kamu gitu sih, Ni?" Kali ini Shella bertanya pada Nia.

Dari ekor mataku, aku melihat raut wajah Nia juga kecewa, ia menggidikan bahu. "Malu kali."

"Ah apaan sih, kenapa malu?" Tanya Shella, belum puas.

"Kalian masih mau bahas Fadil? Aku mau balik ke kelas ya." Kataku ketika mie gorengnya sudah habis.

****

*dddrrrrrtttttt

Handphone ku bergetar, ada satu pesan masuk. Dari Fadil.

Indiraaaaaa

Bibirku melengkung sempurna ketika membacanya, panggilan itu selalu menjadi awal perbincangan ku dengan Fadil. Setidaknya setelah aku memutuskan untuk merespon baik kehadiran Fadil, lagi.

Kabar Baik, NugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang