B.

39 4 0
                                    

Abra menatap gusar gadis berusia 21 tahun yang duduk didepannya masih dengan hijab dan ransel di punggungnya itu. Entah itu kemarahan atau kekhawatiran terlihat jelas disorot matanya yang menimbulkan emosi semakin meletup di diri sang gadis.
"tahan emosimu,  jangan disini ada Irsat diruang tengah" itu kalimat pertama yang berhasil dikeluarkan Iris untuk pria yang akhir-akhir ini membuatnya emosi.
Iris tahu resiko dari kemarahan pria ini.  Pria ini tidak dapat menahan kemarahan dengan baik,  ia akan membanting apa saja selain objek kemarahannya tentu saja.  Juga tidak segan segan akan melukai dirinya sendiri asal emosinya bisa tersalurkan dan Iris tidak ingin memperlihatkan hal tersebut pada adiknya yang baru berusia 10 tahun.
"Sat mas Abra sama mbak keluar bentar ya" ucap Abra melongokkan kepala keruang tengah yang hanya berbatas teralis dari mika bercorak angsa.
"mau dibeliin apa? " tawarnya
Walaupun emosi, Abra tidak pernah melupakan hal tersebut,  menanyakan keinginan Irsat atau mamanya. Saat dalam keadaan baik-baik saja Iris akan melarangnya namun ketika dalam situasi seperti ini Iris lebih memilih meminimalisir percakapan dengan Abra.
"gak usah mas, gak enak sama tatapannya mbak" celetuk Irsat yang membuat Abra menoleh kaku ke arah Iris.
Iris tahu saat ini Abra marah semakin marah kepada Iris karena ucapan Irsat tadi dan sayangnya Iris juga sedang mendidih hingga wajahnya sama keruhnya dengan Abra.
"mbak berangkat" teriak Iris sambil mengikuti pria tua sialan itu.
Pria itu masuk ke kursi penumpang disebelah kemudi hingga Iris menangkap wajah tegang supir Abra itu disamping mobil. Diberikannya senyum terbaik untuk supir itu dan ikut masuk ke kursi belakang.
"mau kemana den? " tanya pria yang sering Abra sebut sebagai Supri itu.
"Kaffe Orange pak" itu suara Iris yang membuat Abra menoleh cepat dengan pelototan yang menggetarkan kepercayaan diri.
"apartemen! " itu perintah yang jelas lebih didengarkan dari pada ucapan Iris yang terdengar seperti cicitan.
"jangan apartemen" jerit Iris marah.
Iris tahu apa yang bisa diperbuat Abra untuk memperlancar keinginannya dan apartemen bukan hal baik dalam situasi semacam ini.
Abra brengsek sialan.
"aku tidak ingin situasi kayak gini diperlihatkan didepan umum" ucap Abra telak yang membuat wajah Iris semakin keruh karena marah.
Setelah perjalanan 1 jam yang penuh keheningan , mobilpun akhirnya berhasil masuk ke besment apartemen tanpa ada ledakan sama sekali yang sebenarnya cukup membuat Iris heran, pria tua itu turun dengan cepat berdiri di samping mobil dengan gusar terlihat tidak sabar menunggu Iris untuk mengikutinya turun, padahal yang sebenarnya tidak lebih dari 2 menit Iris didalam mobil.
Setelah berhasil berdiri tegak di luar Iris dengan emosi yang lebih terkendali berjalan terlebih dahulu kelantai atas dimana nomor apartemem Abra berada. Sepanjang lorong punggungnya serasa terbakar karena tatapan sialan Abra.
Ditempelkannya ibu jari ke mesin detektor setelah terbuka dengan sialannya Abra masuk terlebih dahulu dengan bantingan pintu keras karena menatap dinding didalamnya.
Iris memutar bola matanya jengah dan beruntung Abra sedang membelakanginya sehingga tidak mengetahui kegiatannya tersebut.
Ditutupnya kembali pintu dengan lebih pelan seakan mengingatkan pada pelaku bahwa pintu tersebut tidak memiliki kesalahan berarti.
"Ponsel" minta Abra penuh penekanan.
Iris mengabaikan kata itu walau sebenarnya akan berujung sia-sia.
"Ayo bicara baik-baik, agar ini cepat terselesaikan" ajak Iris tenang
Abra mendekatkan langkahnya dan mengambil tas punggung Iris dengan kelembutan yang tidak terbayangkan. Dibukannya tas itu dan diambilnya ponsel Iris tanpa hitungan detik ponsel itu berdebam keras dilantai setelah menghantam dinding keras-keras.
"Ayo" kata Abra dingin setelahnya
iris menatap pria keparat itu dengan kebodohan akut. Ponselnya sialan, ia belum sempat memindahkan tugasnya ke memori card ataupun flasdisk dan pria itu dengan bodohnya bilang ayo setelah apa yang dilakukannya itu??
"Tugasku, ponselku, ABRA!!!!" Jerit Iris keras.
"Itu masih guna?? Kukira udah gak guna, aku akan ganti yang baru" ujarnya mengangkat bahu "tapi... kalo masih guna kenapa telfonku gak kamu angkat? Tau betapa khawatirnya aku?" Jeda panjang mengingat tatapan Abra kembali membara.
"Aku kecewa sama kamu" cicit Iris melakukan pembelaan
"Seberapa kecewa?"
"Sangat"
"Karena pembahasan mengenai pernikahan"
"Karena kamu tak mau memahamiku"
"Kamu mau memahamiku?" Tanya Abra tegas
Iris diam mengabaikan denyutan sakit hati di dadanya. Abra selalu seperti ini dengan kejam menciptakan rasa bersalah pada diri Iris.
"Aku selalu bilang ingin kerja ingin sukses ingin bahagiain ibuk terlebih dahul Abra"
"Kamu mengubah keputusanmu dengan mendadak setelah aku menyabarkan diri. Tinggal 3 tahun itu yang selalu terpikir dikepalaku saat aku mulai ingin bangun disampingmu setia pagi. Aku udah 27 dan sebentar lagi 28 Ris, bahkan Bara udah punya Bima dikeluarganya."

Heart KepperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang