D

27 3 0
                                    

Gustaf menatapku dengan wajah bingungnya. Aku tahu mengapa,  Ini karena wajahku yang biasa aja walaupun ia menunjukkan padaku sebuah foto yang cukup mengganggu emosiku,  tapi itu dulu sekarang masih sedikit namun ada hal lain yang melarangku untuk marah.  Kesadaran.
Foto Abra bersama wanita yang aku tahu adalah teman kuliahnya dulu,  wanita yang cukup gencar mengejar Abra dulu walaupun tahu Abra sudah memiliki pacar. Mereka sedang duduk di sebuah rumah makan tradisional di Bandung.  Liburan berdua adalah sebuah kemungkinan yang bisa kusimpulkan.
Aku malu pada Gustaf untuk foto ini tapi anehnya tidak lagi berani mengambil ponsel untuk mencari penjelasan dari pelakunya.  Seakan aku bukan lah pacarnya yang telah bertahun-tahun menjalin komitmen dengannya.  Mereka tampak serasi.  Begitu berkelas dan indah.  Aku tahu ketika aku berjalan dengannya,  ia seperti sedang menuntun kemenakannya yang udik dan baru saja datang dari tempat terisolasi yang memancing mata orang-orang untuk terus menatap walaupun dulu sering kuabaikan dan berfikir suatu saat ketika aku telah bekerja akan mulai memperbaiki diri akan layak berdiri disisinya, namun sekarang realita mulai muncuk.  Seenak apapun hidupku nanti setelah bekerja aku tidak akan pernah bisa mengimbangi Abra.  Ia begitu berkualitas dan mahal. Semua yang ada pada dirinya adalah Original dan terkenal, sedang nanti ketika aku bekerja mungkin uangku akan habis untuk menutup hutang aku hanya mampu membeli barang mahal menurut kalanganku bukan kalangan Abra.  Abra bukan capaianku, bahkan ia bukan standarku untuk bergaya,  sangat tinggi dan seakan tidak akan pernah kugapai.
"Ris... " suara Gustaf begitu lembut
"ohh ini,  kemarin ia udah bilang mau makan sama vani kok,  bahas soal apa gitu aku lupa" jawabku berbohong. Secepat mungkin berbalik arah berjalan menuju masjid kampus.
Beberapa minggu ini aku dan Abra memang semakin jauh,  komunikasi yang terjalin mulai berjarak. Aku tak berani menghubunginya terlebih dahulu walau seberapa rindu pun aku padanya,  dan dia terlihat mulai ogah-ogahan menghubungiku.
Menanyakan kabar,  tanya udah makan belum dan selesai.  Mungkin hanya 3-5 chating per hari.
Aku hanya akan mengikuti alur.  Rasa raguku semakin kuat dan aku merasa ikatanku semakin renggang. Aku semakin merasa jauh dan canggung.  Tidak enak untuk mengatakan atau bertanya hal-hal yang kuaanggap cukup pribadi.
Kami aneh.  Hubungan kami tidak sehat.  Aku tahu sangat tahu malah,  tapi biarkanlah. Toh ini mungkin jalan terbaik buat kami aku tidak peduli. Sayangnya ucapan itu hanya di otak seperti penjelas yang aslinya tidak dapat dipercaya sama sekali.
"kemarin Hanin juga liat dia sama cewek di kaffe orange" ucap Gustaf masih memancingku
"benarkah? Mungkin temen kantornya" jawabku santai. 
Gustaf menatapku semakin dalam yang membuatku gak nyaman.
"apaan sih Taf...  Alay tau nggak" toyorku dikepalanya.
"kalian putus ya? " tudingnya
Kuangkat bahuku malas.  Aku mulai tak nyaman membahas hubunganku dengan orang lain.  Malu entah karena apa mendominasi ini semua.
"jujur deh Ris" nyatanya Gustaf semakin memaksa
"aku gak tau dan plis jangan tanyain kayak gini ke aku" tekanku yang seketika membuatnya diam.
"ini gak kayak kamu biasanya ris" tegur Gustaf yang membuatku terdiam.
Aku sudah bukan Iris yang biasanya semuanya digerus oleh waktu dan kejadian.
Dalam diriku semua pemikiran saling berjejalan ingin menjelaskan dan yang paling kuat adalah Abra mengingkari komitmen,  ia mulai bosen dan sedang menjejaki orang lain untuk menjadi penggantiku.
Apakah rasanya sakit?  Sudah pasti rasanya begitu menyesakkan juga membuat diriku merasa kecil dan tak memiliki apapun untuk dibanggakan.
Cantik,  tidak.  Baik?  Tidak. Cerdas,  No apalagi kaya.  Emosian, egois dan keras kepala. Itu aku
Dulu hal yang paling ku hindari adalah merasa rendah diri, tapi ternyata rendah diri itu bukan suatu pilihan namun kondisi. Aku tidak tahu apakah Gustaf sadar atau tidak dengan perubahan sifatku ini.
"aku pengen nonton tapi gak ada duwit" keluhku pada cowok ini yang aku yakin walaupun memutar matanya malas tetap akan mengajakku nonton.
"Dilan boleh? " tanyaku berharap
"kenapa harus cinta anak SMA kayak gitu sih Ris, yang lain aja"
Seketika kupasang wajah paling sedih aku yakin dia akan luluh,  yakin seyakin-yakinnya.
Aku bersyukur punya teman kayak Gustaf.  Temenku entah sejak kapan.  Dari aku belum bisa mengingat kami udah sama-sama.
Kukalungkan lenganku ke lengannya menariknya keparkiran motor untuk berangkat ke bioskop. Biarkan saja dia mengantre panjang disana aku gak peduli toh ini sebagai media penghibirku yang lagi krisis kepercayaan diri.

Heart KepperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang