E

24 4 0
                                    

Kadang aku bisa menjadi sangat egois,  mungkin Gustaf adalah orang yang paling sering menerima sifatku yang ini.  Dan hebatnya walaupun sering mengeluh tapi dia tetap tidak menolak.
Seperti saat ini entah berapa ratus ribu uang yang ia keluarkan untuk menghilangkan wajah muramku uang sebenarnya bukanlah tanggung jawabnya.  Uang segitu mungkin tidak ada artinya bagi Abra namun bagi kami-kami yang masih menadahkan tangan ke orangtua yah itu bener-bener mahal. Dan hebatnya Gustaf tidak eman sama sekali.
Gustaf mencintaiku?  Tidak,  Tuhan itu hanya di roman,  tapi jika ditanya apa Gustaf menyayangiku aku yakin itu pasti.  Gustaf selalu menjadi tamengku dari orang-orang jahat disekitarku. Ia yang selalu ada sewaktu istirahat atau jam kosong saat SD karena tahu aku bukan orang yang mudah mendapatkan temen. Ia yang mengenalkan aku pada Riska mantan dia saat SMP hingga aku menjadi begitu dekat dengannya dan tidak lagi bergantung pada Gustaf saat jam istirahat maupun jam kosong. Gustaf selalu menomor satukan aku bahkan semua orang yang pernah jadi pacarnya pun harus mengenalku.  Dan tanpa diminta akan berbuat baik padaku.  Boleh aku berbangga karena menjadi orang sepenting itu untuk Gustaf?  Kami kakak-adik walaupun aslinya lebih tua diriku tapi Gustaf yang selalu bertindak dewasa.  Aku sayang Gustaf seperti Gustaf sayang aku
Kugelanyuti lengannya dengan wajah penuh binar setelah keluar gedung bioskop.  Aku ingin menariknya kepenjual es cream terkenal di negeri ini.  Bagiku yang jarang ke mall ini pergi kesini tanpa membeli ice cream adalah pembodohan.
Aku tak perlu menunjuk ataupun ngomong hanya perlu menyusuri langkah kearah kedai tersebut dan Gustaf pasti paham.
"masih punya uang emang? " tanyaku padanya.  Ini tanggal tua.
"kalo enggak,  elo gak jadi beli? "
"enak aja" seruku "kalo gak beli aku udah gak bakal mau nemenin kamu cari sepatu" yap kelemahan Gustaf adalah sepatu.  Ia penggila berat sepatu mahal bagi kami tentunya.  Ia akan mengunjungi daerah mana yang udah ada sepatu yang ia mau.
"sebenernya gue juga gak butuh-butuh amat temen kayak elo sih"
"kok elo sialan sih" kataku menadahkan wajah cemberut kearahnya.
Ku ikuti langkahnya yang mendadak berhenti.  "Bang Abra" gumamnya jelas yang seketika membuatku mengarahkan muka kedepan.
Ya disana ada orang yang sudah beberapa minggu ini tidak aku temui.  Aku tidak tahu hubungan macam apa yang kujalani ini untuk menghadapi orang yang ada di depanku beberapa langkah itu. Kulepas tanganku di lengan Gustaf setelah melihat rahang pria itu mengetat.
Dari sorot mata dan mimik mukanya aku bisa menilai bahwa kami masih dalam suatu hubungan yang disebut sebagai pacar.
Ku beri dia cengiran yang seketika hilang ketika seorang gadis entah usia berapa mendekati dirinya dan menatapnya bingung.
"kenapa Ab? " suaranya enak di dengar tidak sepertiku yang benar-benar tanpa nada.
Sialannya aku menjadi lebih kikuk karena wanita itu. Aku ingin berkata bahwa aku pacarnya namun ada ketakutan yang menggelanyutiku,  juga malu dengan keadaanku yang menurutku agak udik juga.
"dari mana Gus" ya itu suara Abra dan ia lebih memilih bertanya pada temanku dari pada aku.  Apa dia ingin menyembunyikanku dari wanita ini?  Apa sedang ada hati yang dijaga Abra?
Aku tahu Gustaf lebih canggung dari aku sekarang.  Ia yang juga mendapat tatapan tertuduh dari sang pemain.
"habis nonton tadi bang ini mau beliin dia Ice Cream. "
"Ab" aku tau itu sebuah cicitan namun karena keluar dari mulut mungil cewek itu jadi terdengar seperti alunan biola.
"kita jadi makan? " tanya wanita itu yang entah kenapa membuat dadaku berdesir tidak nyaman.
Kualihkan tatapanku ke alas kakiku yang sudah ada yang sobek di beberapa tempat dan membuatku menatap sepatu sang wanita lain itu. Aku yang melihat itu hanya bisa menggigit bibir bawahku.  Sepatunya bagus sangat bagus warnanya disesuaikan dengan warna celananya.
Aku tidak sadar tanganku sudah berada di baju Gustaf dan memilinnya,  entah menahan apa yang jelas ada ketakutan pada diriku.
Aku ingin mengakhiri hubungan ini ibu.  Aku tertekan.
"ayo ikut makan aku Gus, jika kamu cerdas ini bukan ajakan" tekan Abra
Aku menggeleng tanpa sadar yang entah mengapa aku bisa lihat rahang Abra semakin mengetat. Ini tidak nyaman bahkan menekan.  Aku tidak mau meledak hancur karena situasi ini.
"maaf bang tapi Iris kayaknya..
"Iris gapapa kalo dia bisa ke mall sama kamu. Jalan " tekannya
Saat ini aku merasa sangat menyesali sifat Gustaf yang terlalu mengidolakan sifat Abra juga terlalu menuruti perintah pria itu. Akhirnya aku berjalan mengikuti langkah pria itu sambil tanganku tak mau lepas di baju Gustaf. Kuremas dadaku beberapa kali disepanjang jalan.

Heart KepperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang