G

29 5 1
                                    

Rencana Iris untuk mengerjakan resum hingga pagi setelah jalan-jalan dengan Gustaf gagal total.  Sekarang dia paham kenapa ibunya selalu menyuruh kerja keras terlebih dahulu baru bersenang-senang kemudian.  Ini karena dibalik kesenangan itu tidak selalu berakhir bahagia bisa saja masalah dan duka.

Ia lelah, takut, dan frustasi. Alasan yang paling logis untuk tidak membawa Abra ketempat yang hanya ada mereka ber-2. Abra itu menakutkan jika emosi walaupun tidak pernah memukulnya namun Abra kasar dalam bertindak terutama dalam melukai tubuhnya sendiri dan Iris tidak ingin menyaksikan itu sendirian.

Kini ia berada di rumah makan disamping mall.  Cukup sepi namun tidak benar-benar tanpa umat.  Ada 2 keluarga yang duduk di masing-masing sisi berbeda.  Dan sepasang muda-mudi yang mungkin baru saja jadian karena tingkah mereka yang malu-malu.

Sedangkan mereka sendiri duduk di pojok ruangan,  dengan wajah Abra yang tetap gahar.
"maafkan aku " lirih Iris
Abra menggeleng dengan wajah kakunya karena marah.
" Ab aku gak ada maksut apa-apa,  aku..  Aku hanya belum siap aja mengenalkan seseorang jadi pacar aku padahal aku masih sekolah" pengakuan bodoh,  iris merutuki kebodohannya itu.

Abra diam namun tangannya mengepal matanya merah dan berkabut,  kemarahannya mungkin diujung batas yang mampu ditahannya. Iris merasa bersalah namun entah mengapa ia tidak menyesal.  Kebodohan pertamanya.
"Abra,  tolong bicaralah,  kalo aku ajak Gustaf keluarga besarku gak akan ada yang tanya karena mereka udah tau siapa Gustaf dalam kehidupanku,  tapi kamu mereka belum tahu kalo kamu pac....
Iris menghentkan cepat kata itu sebelum Abra benar-benar membanting minuman di meja depannya.
"tunanganku.  Cukup tetanggaku dan orang tua kita aja yang tau itu Ab plisttt jangan marah" harap Iris
Abra memusatkan matanya pada seluruh wajah Iris,  sudah melakukannya sejak mereka berada di mall tadi.

"aku rindu"  Iris terdiam
"rasanya kosong. Aku ingin memukul jantungku agar aku tahu apa yang kurasakan,  tapi sejak terakhir kali kita ketemu jantungku kebas benar-benar gak tau gimana rasanya Ris" kalimat Abra memyentilnya
Apakah dia sejahat itu?  Ia sama sekali tidak merasakan sakit untuk tidak bertemu Abra,  mungkin marah karena merasa dipermainkan Abra tapi tidak untuk terluka.

Iris baru menyadari jika mata pria itu tidak bercahaya,  tidak nampak adanya kehidupan.  Dan sialnya tidak ada penyesalan di diri Iris setelah menyaksikan itu semua.  Hanya simpati dan sedikit rasa takut .

Apakah perasaan itu telah terganti oleh rasa yang lain seperti beban hidup atau memang Iris sudah mulai jenuh menghadapi Abra yang selalu seperti itu, berlari pada wanita lain setiap kali ia memiliki masalah dengan Iris.

Abra seorang pria dewasa,  harusnya ia lebih memahami Iris,  itu yang selalu Iris harapkan dari seorang pria dewasa seperti Abra.  Pemahaman.
Sayangnya saat ini Iris mulai sadar,  Abra memiliki ego yang tinggi,  kekanakan,  keras kepala, dan banyak menuntut.

Seberapapun banyak angka pada umurnya ia tetaplah seorang man yang akan selalu menjadi boy.
"aku... " suara Iris tertahan,  ia ingin berhenti tapi tak berani berkata.
Tapi sampai kapan ia akan tetap menahan sesak,  menahan minder lagi. 

Ia bukan Iris yang dulu,  Iris yang bisa dengan mudah membeli hal-hal kecil walaupun keluaganya bukan milyader. 
Iris yang sekarang sangat jauh dari percaya diri apalagi sombong,  ia jatuh.  Keseluruhan yang ada pada diri Iris saat ini berada dititik paling rendah.

Ekonomi mempengaruhi segalanya.  Gaya hidup,  pola pikir,  dan kepercayaan diri.
"Maafin aku Ab" akhirnya hanya kata itu yang lagi-lagi keluar.
Mata Abra menajam,  benar-benar dingin dan bengis. Lalu kalimat selanjutnya yang akhirnya menusuk Iris dengan pisau yang tajam.

"Kamu takdirku Ris, jangan pernah berani meninggalkan aku, atau aku akan sekejam yang dulu padamu,  karirmu terutama pada adik, kakak dan ibumu" kata terakhir di tekan untuk lebih meyakinkan.

Sialnya Iris terlanjur yakin akan kata-kata tersebut.  Pria brengsek sialan.
"Mungkin kamu lupa dan Terlena oleh kelulusanmu yang akan segera tiba,  kamu menganggap itu jalan menuju kebebasanmu,  jalan menuju karirmu yang baru,  kamu merasa aku mulai lunak.  Tapi ingat akulah yang akan menjadi duniamu Ris,  jangan pernah lupa. "

Air mata Iris pada akhirnya jatuh mendapat sabitan kata itu dari bibir pria yang ingin dijadikan imamnya suatu saat nanti.  Harapannya musnah. Dan ia sakit hati. Abra memang bisa menjadi pria paling kejam jika dipaksa,  dan mungkin saat ini tindakan Iris dianggap telah melukai egonya.  Iris ingin sendiri.  Pergi dari dunia Abra. Pria yang membuat Iris merasa kecil karena intimidasi.

Heart KepperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang