L

38 4 1
                                    

Gustaf tidak berubah,  Abra juga masih menjadi orang paling menyebalkan. Keras dan egois.  Keduanya tidak ada yang ikut ke acara saudara Iris pada akhirnya. Dan Iris merasa bersyukur akan itu.

Hubungannya masih sama dengan Abra yang masih terus menanyakan kapan ia bisa menikahi Iris. Dan Iris sendiri tidak pernah tau kapan ia siap.  Setidaknya 2 tahun dari ia lulus mungkin, bisa saja lebih.

Gustaf bukan menghilang tapi mengabaikannya.  Apakah cara berteman pria seperti itu?  Tidak saling membenci tapi bisa saling mengabaikan. Iris sendiri tidak memiliki keberanian untuk kembali mendekat.  Rasa percaya diri yang dulu ia gembor-gemborkan telah jatuh.

Gustaf juga terlihat biasa saja. Beberapa kali ia menangkap Gustaf asyik duduk bersama Intan. Bukan terlihat seperti sepasang kekasih namun seperti teman.

Perubahan yang paling terasa setelah kealfaan Gustaf adalah eksistensi Iris di kampus semakin rendah. Iris hanya akan datang ketika ada yang harus diurus dikampus lalu kembali pulang. Mahasiswa semester akhir itu enak namun juga susah.

Hal yang selalu ditakuti iris saat berada dikampus adalah bertemu Gustaf. Gustaf yang bersikap acuh padanya membuatnya bingung harus berekspresi seperti apa. Diam saja malah terlihat aneh jadi sebisa mungkin ia menghindari Gustaf walaupun sebenarnya ia begitu merindukannya.

Sebentar lagi masa perkuliahannya akan berakhir ia tinggal menyelesaikan kkpnya lalu mengerjakan tugas akhir.  Ia tak sabar menunggu kelulusannya. Bekerja dan menyelesaikan berbagai urusan.  Di hati kecilnya ia juga ingin segera meresmikan hubungannya dengan Abra. 

Ia menyukai Abra walaupun untuk beberapa waktu ia merasa ragu. Abra itu begitu dekat namun juga jauh.  Bukan lelaki yang sempurna tapi terlalu tinggi untuk digapai Iris.  Iris ingin setidaknya memiliki penghasilan sendiri agar bisa setara dengan Abra.  Sayangnya itu terlihat sangat sulit.

Sebelum benar-benar menghasilkan uang tanggung jawabnya satu persatu sudah nampak dan tergambar lama selesainya.

Ia terkadang merasa begitu egois jika harus memaksa Abra menunggu.  Abra boleh pergi mencari orang lain jika lelah,  ia mungkin akan merasa kehilangan namun ia yakin hanya sebentar karena masih banyak hal yang lebih mendesak baginya selain cinta yang harus ia utamakan.  Baginya cinta dan menikah adalah jenjang terakhir yang menjadi harapan jangka panjangnya.

Untuk harapan jangka pendek yang ingin ia selesaikan setelah pendidikan adalah karirnya. Lalu keluarga. Untuk keputusan itu ia merasa bersalah namun ia bisa apa. Harapan ibunya ditumpukan pada dirinya, adiknya masih sangat kecil untuk diharapkan. Jenjang pendidikannya masih lama.

Terkadang ia ingin bicara masalah ini dengan kepala dingin bersama Abra, dengan harapan Abra memahaminya dan bisa mengambil keputusan sesuai dengan kemauannya.  Sayangnya masalah ini begitu sensitif bagi Abra. Masalah ini tidak bisa dibahas bersama Abra dengan kepala dingin dan Iris sudah kehabisan cara untuk mengajak Abra membahasnya.

"Irsat belum pulang Ris? " suara itu yang pada akhirnya menghapus seluruh pemikiran berat dikepala Iris.
Ia menggeleng. Menoleh kearah wanita yang mendadak terlihat lebih menua setelah kepergian sang ayah.

Mengarahkan lengannya kepinggang sang ibu yang baru saja duduk disampingnya ternyata bukan hal baik karena ia mendapat pelototan dari ibunya itu.
"peluk buk" manjanya
"panas Ris jangan bikin risih lah" keluh ibunya.

"yang kayak gini udah mau nikah?  Emang bisa lepas sama ibuk" ejek ibuknya.

"emang boleh nikah sekarang? Yakin ibuk gak papa dirumah berdua aja sama Irsat,  yakin gak kangen aku nanti?" goda Iris dengan duselan diperut ibunya

"jodoh, rezeki, sama maut itu gak ada yang tau Ris,  kalo emang udah jodohmu dan udah jadi rezeki ibu untuk tinggal berdua sama Irsat pasti Allah bakal mempermudahnya" jawab ibunya santai membuat Iris tersenyum kecut.

Itu pedomannya dulu.  Jika jodoh pasti akan dipermudah namun nyatanya ia merasa dirinyalah yang mempersulit Abra untuk menjadikannya istri dengan banyak alasan yang mungkin saja terdengar tidak masuk akal ditelinga Abra.

"Ibuk dengar dari Irsyad,  Abra marah-marah terus beberapa hari ini ya?  Kenapa? "

"Enggak tau buk mungkin jenuh sama hubungan yang gini-gini aja" jawabnya acuh

"bukan karena Gustaf kan?  Soalnya Gustaf akhir-akhir ini jarang mampir"

"Gustaf udah punya cewe baru buk,  dia ngejauhin aku,  Abra tau kok gimana hubunganku sama Gustaf.  Bahkan Abra tau Gustaf gak mungkin ngrebutin aku,  Gustafkan penggemar beratnya Abra" keluh Iris

"Kok bisa ngejauh? "
"Enggak tau buk,  Intan pacar dia mungkin gak yakin sama status kami yang hanya berteman atau emang Gustaf pengen serius ama Intan jadi gak mau mengundang kesalahpahaman Intan"

Alasan Gustaf memang tidak masuk akal didengar telinga Iris.  Jika hanya karena Intan ia menjauhi Iris,  harusnya sudah sejak dulu tapi mengapa baru sekarang? Iris ingin bertanya pada cowo itu apa yang ada dalam pikirannya namun ia tidak memiliki keberanian.

Gustaf bukan lagi orang yang ia percaya menjadi seseorang yang begitu dekat dengannya. Gustaf sudah menjadi orang yang berbeda dan Iris tidak berani mengusik cowo itu lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Heart KepperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang