18

11.1K 693 7
                                    


Niel menatap pondok mungil mereka dengan alis bertaut, sudah sesiang ini Elena belum juga bangun? Niel bergegas menjinjing ikan yang baru saja dibakarnya dan balik kepondok, ia khawatir telah terjadi sesuatu yang buruk menimpa gadis itu, gadis yang telah berhasil mencuri hatinya.

"Elena!" Elena tak bergeming, ia tidur meringkuk seperti bayi dengan tubuh menggigil. Niel meletakkan ikan bakar dan menghampiri gadis itu, astaga tubuhnya panas sekali tapi ia kedinginan, Niel terkejut melihat wajah Elena pucat pasi, ia demam, jangan-jangan malaria! "Ya ampun Elena, kau demam!"

Niel panik, apa yang harus dilakukannya? Harusnya Elena dibawa kerumah sakit atau setidaknya meminum obat penurun panas, tapi ditempat seperti ini ia bisa apa?

"Niel, dingin," suara Elena bergetar seirama dengan tubuhnya yang kian berguncang. Mungkin karena tidur diudara terbuka berhari-hari membuat daya tahan tubuh Elena menurun dan jatuh sakit, "beri aku selimut, Niel aku butuh selimut," gadis itu terisak, Niel tak tahan lagi air mata mengalir turun dari sudut matanya. Ia takut sesuatu terjadi pada Elena dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya ia berteriak tapi suaranya tersangkut ditenggorokannya. Ya Tuhan, ia tak ingin kehilangan Elena untuk yang ketiga kalinya, cukup saat di SMU dan dipesawat gadis itu dipisahkan darinya, kali ini jangan lagi!

"Niel," rengekan Elena menghilangkan akal sehat Niel, ia berpikir keras bagaimana cara menghangatkan tubuh gadis itu sedangkan mereka tak punya persediaan selimut satupun.

Akhirnya, Niel membuka kaosnya berikut celana jeans yang dipakainya, tak ada jalan lain ia akan melakukan apa pun untuk menghilangkan dingin yang menyerang Elena. Dengan celana bokser super pendek yang menutupi bagian terpentingnya ia merebahkan diri disebelah Elena membelit gadis itu dengan tangan dan kakinya. Dirapatkannya punggung Elena kedadanya menghangatkan gadis itu menggunakan panas tubuhnya. Niel tak peduli Elena marah besar saat pulih nanti, yang terpenting sekarang gadis itu tak kedinginan lagi.

"Sssst, tenanglah El, aku disini," Niel berbisik ditelinga Elena, perlahan gadis itu tenang dan deru nafasnya teratur, ia terlelap dalam pelukan pria yang merengkuhnya dari belakang.

***

Menjelang sore Elena terbangun, ia menggeliat dan terkejut ada tangan dan kaki melingkupi tubuhnya, rasa pusing yang tadi pagi menyerangnya telah berkurang begitu juga rasa dingin ditubuhnya. Apa karena tidur dipeluk Niel? Meski selama dipulau ini mereka selalu tidur berpelukan, namun jantung Elena selalu deg-degan saat terbangun dengan muka merona.

"Niel....bangun!" Elena mengurai pelukan Niel tapi gagal, pria itu membelitnya terlalu kuat, "Niel....lepas, sesak nih."

Niel mengerang dan melepas belitannya, Elena bangkit dan terkejut melihat pria itu nyaris bugil, buru-buru ia menutup mata dengan kedua tangannya.

"Sorry...sorry," Niel dengan cepat memakai pakaiannya, "sorry, aku tadi bingung kau kedinginan dan kita tak punya selimut, jadi aku terpaksa menghangatkanmu memakai selimut kulit," Niel nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebelah tangannya mengelus pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, kelamaan tak bercukur rambut diwajah Niel menyerupai hutan mini.

Elena terdiam, ia menegaskan pendengarannya dan meletakkan telunjuk dibibir memerintahkan Niel untuk diam, alis lelaki itu terangkat dan bertanya tanpa suara 'ada apa?"

"Kau dengar Niel, helikopter, ada suara helikopter!" Teriak Elena dan berlari keluar pondok menuju pantai, Niel mengekorinya dibelakang dan terkejut melihat dikejauhan helikopter melayang diudara.

"Hey!!! Kami disini!!!!" Keduanya melonjak-lonjak sambil melambaikan tangan diudara, menarik perhatian orang-orang yang berada diheli itu. Tapi sayang heli terbang terbang menjauh dan menghilang.

"Mereka tak melihat kita Niel, mereka pergi," Elena terduduk lemas diatas pasir, ia kecewa dan air mata bercucuran dipipi putihnya, matanya menatap kosong kehorizon tempat Heli tadi menghilang.

"sstttt, jangan pesimis begitu, mungkin mereka melihat kita tapi tak bisa menghampiri kesini karena hari sudah mau gelap. Masih ada hari esok Elena, aku yakin akan ada yang datang menyelamatkan kita," Niel merengkuh Elena kepelukannya dan mencium kening gadis yang menangis tersedu.

Niel menghela nafas panjang, tangannya mengelus punggung Elena yang masih terisak. Niel mengerti kekecewaan gadis dalam pelukannya ini, Niel juga sangat kecewa dan sedih tapi mereka bisa apa? Marah? Apa dengan marah bisa merubah keadaan?

***

Elena celingukan mencari keberadaan Niel, kemana pria itu? Dengan cepat gadis itu menjejak pasir putih dan melayangkan pandangan kesekitarnya. Kakinya kian bergegas ketika matanya terantuk sosok Niel yang terduduk didekat batu karang, disebelahnya teronggok kayu yang baru saja dikumpulkan pria itu. Rupanya Niel bermaksud memperbarui sandi SOS mereka diatas pasir dan membuat asap untuk menarik perhatian tim pencari. Sudah sebulan mereka terdampar dipulau terpencil ini dan hidup dalam keterbatasan.

"Niel kau kenapa?"

Niel mendongak dan Elena terkejut mendapati wajah dan bibirnya pucat, "El, aku dipatuk ular," ucapnya dengan suara bergetar, keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Niel. Niel mengangkat lengannya yang dipatuk ular memperlihatkan dua lubang kecil dikulitnya.

Elena panik, ia tak mengerti cara menangani orang yang terkena bisa ular, "aku...aku harus bagaimana Niel?" tanyanya gugup, rasa takut merayapi Elena ia ketakutan terjadi hal yang tidak diinginkan pada Niel.

"Ikat lenganku diatas bekas gigitan El, mencegah bisanya sampai kejantung," Elena merobek kemeja yang dipakainya dan membelah kecil membentuk tali panjang, dengan tangan gemetar ia melaksanakan intruksi Niel mengikat lengan lelaki itu dengan kuat. Elena memperbesar lubang bekas gigitan sampai mengeluarkan darah dan menyedot darah itu kuat-kuat lalu meludahkannya diatas pasir, berulang-ulang Elena melakukan hal itu sampai semua racun tersedot keluar.

Niel kian pucat dan menggigil, rupanya pengaruh racun telah beraksi. Elena memapah Niel kembali kepondok dan merebahkannya, dengan sabar ia mengelap keringat Niel yang bercucuran. Gadis itu kian panik, kondisi Niel kian menurun dan lelaki itu meracau tak jelas. Elena ketakutan dan menangis, ia tak mau kehilangan Niel dan tak bisa membayangkan seandainya hal buruk terjadi pada pria itu. Elena tak bisa hidup sendirian ditempat ini, ia bisa bertahan selama ini hanya karena bersama Niel. Lelaki itu memahami cara bertahan hidup dialam liar, dan sekarang sandaran hidupnya itu tengah sekarat berjuang melawan maut racun ular.

"Niel.....bangun Niel, aku takut sendirian Niel," tangis Elena kian kencang, diguncang-guncangnya tubuh Niel berharap pria itu membuka matanya, tak ada respon bahkan erangan dari mulut Niel terhenti. Tak ada pergerakan dari Niel meski Elena mengguncang tubuhnya dengan kuat.

Nafas Elena berhenti mendadak, "tidak.....tidak, jangan pergi Niel, jangan tinggalkan aku sendiri, ak....aku nggak bisa hidup sendirian dipulau ini Niel,"teriak Elena disela tangisnya.

Tubuh pria itu tak bergeming, ia tetap menutupnya matanya dan tubuhnya berangsur dingin dan membiru, "TIDAAAAAAK.........NATHANIIIIIIIIIIEEEEEEEEL!!!!" Elena histeris.

Tak sanggup menahan kesedihan Elena ambruk diatas tubuh Niel, ia pingsan.

TERDAMPARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang