Dia adalah bocah dengan banyak pertanyaan yang melintasi otak kecilnya.
***
Winter, 2001
."Hyung, dingin.."
Aku melirikkan mataku kearah Jimin yang menggenggam tanganku semakin erat. Pipi gembilnya terlihat sangat memerah karena temperatur udara yang cukup dingin siang ini.
Aku membungkuk untuk memegang pipinya. Astaga, sangat dingin. Tanganku bergerak cepat untuk melepas syal wol yang melilit leherku untuk menutupi lehernya agar Ia tak kedinginan lagi.
Jimin berkedip, "Eh? Kenapa, hyung?"
Kepalaku beralih pada jalanan dan trotoar yang diselimuti salju tebal. Bahuku menggidik sekali, "Katanya dingin."
Jimin terlihat menundukkan kepalanya, lalu menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi kedalam selimut yang membungkus leher hingga ke dagunya sembari tersenyum.
"Makasih hyung."
Aku hanya tersenyum simpul sembari melanjutkan perjalanan kami pulang kerumah.
Diujung jalan, kulihat asap halus yang mengepul dan berkumpul di udara, yang aku ketahui berasal dari toko roti milik Bibi Ahn.
"Hyung, laper nggak? Kok perut Jimin bunyi ya?"
Astaga. Anak ini bisa membaca pikiranku rupanya.
Aku menundukkan kepalaku, menoleh kearah wajahnya, "Kamu mau roti Bibi Ahn? Hyung yang traktir," tawarku yang tentu saja disambut dengan binar bahagia di kedua bola matanya.
"Beneran, hyung?" tanya Jimin sekali lagi dan Aku membalasnya dengan mengangguk.
Ia terlihat mengepalkan tangan mungilnya sembari berseru kegirangan.
"Hehe. Roti Almond! Roti Almond! Ahh, aku sayang hyung hari ini!"
Aku hanya tertawa kecil menanggapi tingkahnya itu. Tanganku menarik tangan mungilnya untuk mendekat kearahku.
Kami melanjutkan perjalanan kami hingga tiba didepan toko roti Bibi Ahn. Jimin membuka pintu depan toko itu dengan semangat hinga lonceng yang terdapat disana berguncang menimbulkan bunyi yang sangat keras.
"Annyeong, Bibi Ahn! Roti Almond kesukaan Jimin ada nggak? Jimin mau satu ya! Yang spesial pakai isian cokelat!" seru Jimin dengan suara cemprengnya hingga membuat Bibi Ahn dan seluruh pegawainya tertawa.
Aku menarik bahunya, "Yang sopan, Jim!" tegurku dengan mata setengah melotot.
Matanya membulat, lalu memgerjap polos sembari menatapku dengan tatapan bertanya, "Memang Jimin salah apa, hyung?"
Aku merotasikan bolamataku dengan malas ketika Bibi Ahn datang dengan sebuah roti almond hangat ditangannya.
Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan Jimin. Tangannya mengusap lembut surai hitam milik Jimin, "Ini pesananmu, manis. Dimakan pelan-pelan ya biar nggak tersedak. Nah, Seokjin, mau pesan apa lagi?" kepala Bibi Ahn kini mendongak menatapku.
Aku tersenyum, "Tiga roti almond lagi, Bi. Yang satu jangan diisi cokelat ya. Itu aja," jawabku yang kemudian dianggukinya. Bibi Ahn bangkit dari tempatnya setelah sempat mencubit pipi gembil Jimin karena gemas.
Jimin mengunyah rotinya dengan lahap. Ia menatap kearahku dengan mata berbinarnya.
"Hyung, Jimin gendut ya?"
Alisku berjengit mendengar pertanyaan yang diutarakannya, "Kata siapa?"
Jimin menelan potongan kue yang ada dimulutnya, lalu melanjutkan, "Kata teman-teman, kalo pipi Jimin sering dicubitin berarti Jimin itu gendut."
Aku menunduk, lalu mengusap rambutnya perlahan sembari tersenyum.
"Berarti kalau pipi hyung sering dicubiti, itu artinya hyung gendut, gitu? Memang kenapa kalau gendut, Jim?"
Ia mengunyah lagi potongan rotinya hingga selai cokelat didalamnya meluber kemana-mana, membuatku dengan cepat mengambil tisu diatas meja saji dan mengelapi sekitaran mulutnya.
"Kata bu guru gendut itu nggak sehat."
Tanganku mengusak bahunya perlahan, lalu tersenyum lembut menenangkannya.
"Nggak sehat kalo Jimin kerjaannya cuman makan, abisitu tidur, terus bangun-bangun makan lagi, terus tidur lagi. Jimin kan sering olahraga pagi sama Ayah, sama Mama, sama Hyung. Itu tandanya Jimin masih sehat," terangku yang membuatnya mengangguk-angguk lucu.
"Hehehe, berarti, Jimin nggak gemuk ya, Hyung?" tanyanya yang membuatku mengangguk menyetujui pertanyaannya.
Bersamaan dengan itu, Bibi Ahn kembali dengan sebuah plastik sedang berisi roti pesananku ditangannya.
Mata Jimin berbinar, menciptakan sebuah galaksi yang indah di kedua bola matanya.
"Berarti Jimin boleh pesan roti lagi, hyung? Nanti abis makan, Jimin bakal olahraga, hehehe. Biar nggak gendut! Bener kan, hyung? Bibi, aku mau pesan lagi dong! Roti Almond lagi! Pakai isian vanila ya! Hehehe.."
Astaga. Tarik ucapanku barusan. Aku menggeleng pasrah menghadapi kelakuan anak kecil ini yang senang sekali membuat kepalaku nyeri.
Dan meski dia sudah menanyakan satu hal berulang kali, Ia tak akan pernah bosan untuk terus menanyakan hal yang sama hingga membuatku pusing tujuh keliling hanya untuk menjawabnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil DAngel [✔] || 나의 동생
FanfictionUntukmu, adikku yang manis sekaligus menyebalkan, Park Jimin; semoga kau tenang disana.