Devil's Harm

4.7K 630 5
                                    

Bocah itu lebih memilih cara paling menyakitkan untuk menyembunyikan sakitnya.

***

Winter, 2009
.

"Aku pulang.."

Kepalaku berputar begitu saja kearah pintu, lalu netraku mendapati keberadaan Jimin dengan wajah kucalnya.

Aku menghentikan kegiatanku menulis di buku, "Heh kok lemes? Kenapa?" tanyaku berusaha menarik perhatiannya.

Jimin meletakkan sepasang sepatunya diatas rak dan menggantung mantelnya di gantungan. Kakinya kemudian berjalan gontai kearah dapur untuk mengambil segelas air putih yang ada di sebelahku.

Ia meneguk minumnya sekali, "Aku habis les nari," jawabnya acuh.

Dengan gemas aku menjitak kepalanya, "Bukan itu maksudnya, duh!"

Jimin meringis mengelus kepalanya yang terkena jitakan mautku, "Iya-iya, maaf. Tau kok. Terus jawabannya, nggak."

Aku menaikkan alis, "Hah gimana? Hyung kok nggak ngerti?"

Jimin tersenyum, lalu mencubit pipiku dengan keras.

"Jimin nggak papa, Seokjin hyung. Udah, kan? Itu jawabannya," katanya dengan senyum lebar.

Jimin membalikkan badannya kemudian berlari ke kamarnya yang ada di lantai dua. Mungkin untuk ganti baju. Entahlah.

Aku melanjutkan kegiatankuㅡmengerjakan pr dan tugas sekolah lainnya yang sempat tertunda.

Tak lama, Ia kembali turun dengan sebungkus biskuit di tangannya. Bibirnya bersenandung riang kala kakinya melangkah meniti satu persatu anak tangga dengan lompatan kecil.

"Neun kkochi tteoreojyeoyo~"

"Hati-hati, Jimin. Nanti jatuh," ucap Mama yang tiba-tiba muncul dari kamarnya di sebelah tangga sembari memperingatkan Jimin.

Bocah itu hanya terkekeh, "Hehehe. Maaf, Ma. Iya ini pelan-pelan kok," Jimin menundukkan wajahnya seolah memberitahu jika kakinya kini tengah berjalan dengan teratur di tangga.

Ia melempar bungkus biskuit itu padaku ketika sampai di dekatku dengan baju yang sudah terganti. Dan untungnya aku punya refleks yang bagus untuk menangkap biskuit yang dilemparnya sebelum benda itu jatuh ke lantai secara naas.

Kedua alisku tertaut, "Tumben ngasih ginian? Kenapa?"

Jimin menggeleng sembari tersenyum, "Hehehe. Nggakpapa, kepengen aja. Tadi kebetulan lewat minimarket, sekalian beli buat hyung deh," jelasnya dengan bahu setengah menggidik.

Tanganku membuka bungkus biskuit itu perlahan, lalu mengambil satu biskuit untuk kumasukkan kedalam mulutku.

"Kamu udah?"

Jimin mengangguk. Kini Ia tengah menikmati makan siang menjelang sorenya dengan sangat tenang.

"Hmm... Aduuh masakan Mama enak banget!"

Seperti biasa, Ia akan selalu memuji masakan Mama dan akan berbincang-bincang dengan beliau setelahnya.

"Ya udah. Mama masuk dulu ya? Mau mandi. Lengket nih. Kalian lanjutin aja dulu makannya," kata Mama sembari berjalan kembali ke kamarnya untuk berbenah diri.

Kulihat Jimin masih asyik menyantap makanan di mangkuknya seolah Ia tak pernah makan dalam waktu yang cukup lama.

Namun ketika badannya hendak menjulur untuk mengambil lauk yang ada ditengah meja, kudengar suara rintihan keluar dari mulutnya.

Spontan aku bertanya, "Kenapa, Jim?"

Ia menggeleng, lalu tersenyum. "Nggak papa. Pinggangku agak sakit, abis keseleo di jalan tadi. Tolong ambilin japchae nya dong, hyung."

Tanganku kemudian terulur mengambil mangkuk berisi japchae yang masih hangat itu, kemudian mengarahkannya tepat dihadapan Jimin.

"Makasih, hyung." katanya sembari tersenyum. Mendadak mataku tertuju pada tangannya yang menjulur kebelakang tubuhnya. Terlihat seperti sedang memijat-mijat punggungnya perlahan seiring dengan suara mengaduh yang terus keluar dari mulutnya.

Aku pun dengan cepat berdiri kebelakangnya. Tanganku dengan gesit membuka baju turtleneck miliknya dibagian belakang.

Ia sedikit panik dan terbata, "H-hyung mau ngapain?" namun aku lebih memilih tak menggubris apapun ucapannya.

Dan kemudian betapa terkejutnya aku ketika menemukan banyak sekali luka lebam berwarna biru keunguan di punggung putih milik pemuda itu.

"Kamu bilang sakitnya di pinggang?" tanyaku dengan nada datar. Kudengar Jimin meringis di depanku. Ia membalikkan badannya menghadapku dengan senyuman manis andalannya.

"E-eh.. Iya, di pinggang juga sakit. Eh.. Soalnya... Itu..., jatuhnya kan kebelakang.. Terus posisiku agak.. Uh... Ya gitu," jelasnya yang malah semakin membuatku mengerutkan alis dalam-dalam.

"Jangan berbelit-belit. Intinya aja kenapa kamu bisa sampai lebam semua kayak gini."

Jimin menggaruk kepalanya pasrah, lalu menundukkan kepalanya ragu untuk menatap sepasang kakinya sendiri.

"Hyung harus janji jangan bilang Mama.."

Aku langsung mengangguk cepat dan merubah ekspresiku menjadi serius. Namun luntur saat dengan riangnya Ia tersenyum lebar dan berkata:

"Hehehe, Jimin nggak kenapa-kenapa. Tadi waktu nggelar karpet di tempat les, punggung Jimin kehantam box tempat naruh alat musik. Ujungnya kan tajem, terus tempatnya bertumpuk-tumpuk. Jadi deh punggung Jimin sekarang lebam kayak gini.. Hehehe. Oh iya, ada minyak oles nggak, hyung? Kok lama-lama perih ya.."

Jimin itu tak pandai berbohong.

Namun kali ini, aku ragu apakah yang Ia katakan itu sebuah kebenaran atau kebohongan.

Aku hanya bisa menghela napas pasrah sebelun akhirnya beranjak untuk mengambilkannya sebotol minyak oles.

Ia selalu tersenyum seakan semua terlihat baik-baik saja didepan matanya.

***

Lil DAngel [✔] || 나의 동생Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang