Namun dia akan selalu bersembunyi jika sedang merasa sedih. Dan selalu, tak pernah ketahuan.
***
Autumn, 2005
."Ayo, Seokjinnie, Jiminnie. Makan malamnya udah siap!"
Telingaku menegak begitu mendengar lengkingan maut milik Mama yang tengah memanggil kami, membuatku cepat-cepat bangkit dari meja belajar untuk segera menyusul ke ruang makan yang berada di lantai satu.
Aku melirik kamar Jimin yang masih tertutup pintunya. Alisku mengerut bingung.
Biasanya anak itu selalu mendahului jika sudah menyangkut segala tentang makanan.
Ada apa dengannya kali ini?
Perlahan, aku melangkah kearah ruangan itu. Kuputar knop pintunya yang ternyata tak dikunci.
Obsidianku langsung tertuju pada tubuh Jimin yang tengah menatap jendela dengan kedua kaki yang tertekuk didepan dadanya.
Kepala bocah itu setengah terbenam diantara kedua lututnya. Iris kelamnya menatap jendela dengan pandangan kosong.
Aku mencoba berdeham guna mengalihkan atensinya, namun gagal.
Lalu perlahan kucoba untuk menyapanya.
"Jim? Kok nggak turun? Mama udah manggil lho."
Dan berhasil. Pandangannya teralih pelan kearahku yang masih betah berdiri diambang pintu kamarnya.
Alisnya berjengit, "Eh? Mama udah manggil? Kok nggak kedengeran?"
Kini giliranku mengerutkan alis, "Hah? Nggak kedengeran gimana? Kayak nggak tau suara toanya Mama aja kamu," sahutku sembari terkekeh dan menular juga padanya.
Ia segera bangkit setelah sempat menepuk bagian belakang tubuhnya sesaat, lalu menyusul langkahku menuju lantai satu.
"Seokjin, Jimin?? Kenapa nggak turun-turun?!"
Satu lagi lengkingan hebat itu membuat Jimin akhirnya percaya pada kata-kataku.
"Hahaha, iya Hyung bener. Teriakan Mama emang nggak ada duanya," katanya sembari tertawa.
Namun ada satu hal yang lain. Tawanya itu, rasanya sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan seperti Jimin yang biasanya.
Memilih mengabaikan pikiran itu, aku segera berjalan menyusuri tangga bersama pemuda itu.
Aku terus memperhatikan pergerakannya hingga makan malam hari itu usai.
Tak ada yang aneh. Seperti biasanya, Ia akan selalu merespon seluruh lelucon garing yang kulontarkan dan juga semua perkataan Ayah dan Mama.
Namun binar di matanya itu, kurasa tengah meredup.
Ia kembali ke kamar setelah jeda usai makan malam tanpa sepatah katapun. Hal itu ikut membuatku bangkit dari tempat duduk dan segera menyusulnya.
Namun langkahku mendadak berhenti kala pergelangan tanganku ditahan oleh Mama terlebih dahulu.
"Seokjin, kamu lagi ada masalah ya sama adikmu?" tanya Mama khawatir.
Tanganku bergerak membelai kedua bahunya perlahan, "Nggak ada kok, Ma. Mama aja yang kepikiran kali."
Mama menggeleng, "Nggak, Jin. Mama ngerasa hari ini Jimin keliatan lain dari biasanya. Dia lebih banyak diam," sahutnya seiring mata teduhnya itu mengerjap perlahan.
Aku memeluk Mama sejenak, lalu mencium rambut yang kini semakin dipenuhi warna putih itu dengan lembut. Mengangguk maklum atas firasat keibuannya yang jarang meleset.
"Jangan khawatir, Ma. Nanti Seokjin tanya sama Jiminnya, oke? Sekarang Mama bobo dulu. Tuh, Ayah udah nunggu," kataku sembari menunjuk keberadaan Ayah yang tengah menunggu Mama diambang pintu kamar, membuatnya terkekeh perlahan.
Mama mengangguk, seiring langkahnya yang semakin menjauh dariku.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk langsung ke kamarku. Aku akan istirahat dan pergi ke dunia mimpi setelah ini.
Namun itu tak berlangsung lama. Tepat setelah sekitar dua jam aku tertidur, aku mendengar pintu kamarku diketuk oleh seseorang dengan sebuah suara.
"Hyung, udah tidur ya?"
Aku cepat-cepat bangkit dari tempat tidur, lalu melangkah kearah pintu dengan mata setengah mengantuk.
Kulihat pemandangan Jimin yang hampir saja akan berjalan kembali ke kamarnya. Ia kembali menghadapku dengan wajahnya yang pucat dengan hidung memerah.
"Kamu nangis, Jim?!" seruku refleks kala mendapati wajah Jimin yang jauh dari kata baik saja.
Ia dengan panik membungkam mulutku dengan tangannya. Sedetik kemudian, air matanya turun dengan deras hingga membuat pemuda itu terisak dan menundukkan kepala.
Tangannya melemas dan jatuh seiring isakkan itu semakin menjadi dan terdengar sangat menyedihkan.
"Kamu kenapa, Jim?? Cerita sama hyung, dong," tanyaku berusaha selembut mungkin.
Namun Ia malah menggeleng, dengan tangisan yang masih membanjiri pipi gembilnya. Tangannya bergerak mengusap kasar airmatanya itu dengan kain baju lengan panjang yang Ia gunakan.
"Aku mimpi buruk, hyung. Malem ini numpang disini nggakpapa kan?" tanyanya sembari mendongak menatapku yang lebih tinggi darinya.
Tidak. Aku tahu Jimin berbohong.
Namun bodohnya, aku lebih memilih mengikuti sandiwaranya dengan mengangguk.
Kenapa dia pintar sekali menyembunyikan itu semua?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil DAngel [✔] || 나의 동생
FanfictionUntukmu, adikku yang manis sekaligus menyebalkan, Park Jimin; semoga kau tenang disana.