Ingatkan aku lagi tentang bagaimana manisnya tawa yang tak pernah absen menghiasi bibirnya.
***
Spring, 2015***
"Hyung, ini nih potret, bagus banget bunga sakuranya!"
Aku menghampiri Jimin yang seakan lupa dengan umurnya kini karena tengah meloncat-loncat kegirangan untuk meraih salah satu ranting yang dihiasi bunga sakura paling pendek di sebuah pohon besar.
Aku tertawa karena tingkahnya, "Udah deh, kamu tuh pendek. Nggak bakalan sampe. Sana gaya yang bagus, biar hyung fotoin," perintahku yang membuatnya mengajukan kedua jempol mungilnya dengan semangat.
Aneh. Biasanya Ia akan marah jika aku mengejeknya. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.
Jimin bersandar di salah satu pohon, lalu berpose dengan gaya macho yang malah membuatnya semakin terlihat imut dan manis.
Aku membidik kameraku yang kini tengah terfokus kearahnya, mengambil beberapa gambar sekaligus sesuai permintaan Jimin agar hasilnya bisa Ia pilih sendiri nantinya.
Setelah selesai, aku mengarahkan kameraku kearahnya, yang disambutnya dengan melingkarkan kalung penggantung kamera itu mengelilingi lehernya.
Ia melihat-lihat hasil bidikanku sambil tersenyum puas sambil menunjukkan jari jempolnya kearahku, "Mantap, hyung. Kemampuan hyung memang nggak bisa diragukan lagi. Makasih ya, hyung. Kayaknya nggak ada yang perlu dihapus. Hehehe," katanya sembari terkekeh yang membuatku menjentikkan jari telunjukku kearah dahinya.
"Yeee penyimpanan hyung penuh ntar gara-gara kebanyakan foto-foto narsismu."
Jimin tertawa renyah sembari terus melihati hasil bidikanku didalam benda kotak itu. Beberapa saat kemudian Ia menyerahkan benda itu lagi kepadaku dengan mengalungkannya dileherku.
"Hyung laper nggak? Jimin laper nih. Cari Mama sama Ayah yuk? Bilang makan siangnya dimajuin gitu soalnya Bungsu mereka udah laper duluan, heheh."
Aku mengangguk sambil merangkul bahunya, "Iyaa Bungsunya Mama sama Ayah emang yang paling manja!" ucapku yang membuatnya tertawa.
"Apa salahnya manja sama orangtuㅡAkh!" tiba-tiba saja Jimin menunduk memegangi kepalanya sambil meringis--terlihat sangat sakit.
Aku sontak kebingungan melihat Jimin yang kini tengah berjongkok diatas tanah. Tanganku bergerak menggoyangkan tubuhnya sembari terus bertanya, "Kenapa? Apanya yang sakit? Mau ke dokter?"
Ia terdiam sesaat. Lalu menggelengkan kepalanya lemah, "E-enggak. Tiba-tiba berdenging. Nggak papa." jawabnya yang lebih terdengar seperti menggumam.
Ia kemudian bangkit sembari mengerjap-ngerjapkan matanya cepat, lalu menggelengkan kepalanya dua kali. Setelahnya tangannya dengan lincah mencari bahuku untuk dirangkulnya.
"Mungkin karena laper, hyung. Udah yuk, cari Mama sama Ayah. Perut Jimin udah ngeluarin bunyi nih," ujarnya sekali lagi yang membuatku balas memeluk lehernya dengan kuat.
Sepanjang jalan Jimin terus tertawa saat kebetulan ada kejadian tak terduga yang membuat kedua sudut bibirnya itu tertarik tinggi-tinggi.
Saat sampai di camp kami, kulihat Mama yang tengah menyiapkan makan siang bersama Ayah disampingnya menatap Jimin dengan tatapan heran.
"Hmmm... Tumben nih Bungsu kita bahagia gini? Ada apa, hm? Mau cerita sama Mama nggak?" tanyanya yang membuat Jimin lagi-lagi terkekeh manis.
Ayah pun menjadi ikut-ikutan menyahut, "Sama Mama doang ceritanya? Ayah nggak diceritain? Oke. Uang sakumu Ayah potong bulan ini setengah bagian," kata Ayah sambil menampakkan wajah seriusnya yang justru membuat Jimin tertawa.
"Iyaa iyaa cerita sama semuanya kok. Ntar aja tapi. Ma, Jimin laper. Makan sekarang boleh nggak?" pinta Jimin sembari menunjukkan puppy eyes andalannya.
Mama mencubit pipi pemuda itu dengan gemas, "Kamu nih kapan sih besarnya, hm? Iya. Ini, ambil bagianmu. Seokjin mau makan juga?" tanya Mama mengalihkan perhatiannya padaku.
Aku tersenyum, "Biar Seokjin ambil sendiri, Ma. Ayah gimana? Nggak makan?" aku mengarahkan pandanganku pada Ayah yang masih memperhatikan gerak-gerik Jimin sembari tersenyum jumawa.
"Ayah nggak mau makan kalo nggak disuapi sama Mamamu. Ayo, Jimin, manjanya udah dulu. Gantian, sekarang Mama milik Ayah," katanya yang dibalas tawa oleh Jimin.
"Yeee Ayah juga setiap hari udah bobo sama Mama. Masa Jimin baru manja sehari sama Mama, Ayah udah cemburu? Nggak adil nih!" Jimin memajukan bibirnya lucu.
Mama terkekeh sebentar, lalu melerai perdebatan antara suami dan putra bungsunya itu, "Udaah. Kalian makan dulu! Biar Jimin bisa ceritain kenapa dia bisa bahagia."
Jimin yang ternyata sudah mengunyah suapan terakhirnya pun menjawab ucapan itu setelah Ia menelan kunyahan terakhirnya.
"Jimin bahagia karena hari ini Jimin bisa ngehabisin waktu Jimin hari ini seharian sama kalian semua. Selama ini, Ayah selalu sibuk cari uang. Mama, sibuk juga ngebantu Ayah untuk ngebiayain kita. Seokjin hyung juga sibuk berjuang menghadapi masa depannya.
Untuk hari ini, Jimin seneeeng banget karena akhirnya kita bisa berkumpul bareng lama-lama. Menghabiskan hari tanpa perlu mikirin bagaimana hari esok kita balik lagi sibuk sama urusan masing-masing. Jimin bersyukur. Meskipun kalian semua sibuk, Jimin senang punya keluarga seperti kalian.
Jimin nggak pernah ngerasa sepi karena Seokjin hyung yang selalu menyempatkan diri buat menemani Jimin. Makasih banyak. Jimin sayang kalian semua." Jimin menutup kalimatnya dengan sebuah kekehan canggung.
Aku, Ayah, dan Mama yang mendengarkan untaian kata-kata Jimin dengan mata yang setengah berair. Malahan Mama sudah menangis tersedu-sedu terlebih dahulu.
Aku berdeham, "Jimin ngerayu tuh, Ma. Paling minta nambah lagi!" kataku menghilangkan suasana canggung yang tiba-tiba menyergap sekeliling kami.
Jimin sepertinya paham, karena kemudian Ia bertepuk tangan sambil menunjukku, "Ahhh hyung jangan buka kartu dong!" ia berseru sembari tertawa geli.
Mama, Ayah, dan aku pun tertawa karena tingkahnya itu. Sungguh, Jimin sangat pandai membuat suasana canggung menjadi lebih berwarna dengan tawanya.
Tawa riang yang akan selalu mengembang bak gula kapas di musim semi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil DAngel [✔] || 나의 동생
FanfictionUntukmu, adikku yang manis sekaligus menyebalkan, Park Jimin; semoga kau tenang disana.