Perlu kau tahu, Nara. Saat kutuliskan ini padamu, ketahuilah bahwa cerita ini tak benar-benar ada dalam dunia nyata. Hanya hidup dalam bagianku, dan kini menjadi bagian hidupmu semenjak kau membaca, hanya kita yang tahu. Nara, saat kau mulai paham dan mengerti, berjanjilah untuk membuang jauh-jauh namaku dalam hidupmu. Ini bukan sekedar permintaan Nara, ini perintah. Ini akan menyakitkan pada awalnya, tapi kau akan bahagia kemudian. Aku mohon, percayalah padaku kali ini saja, meski tidak ada lagi kata-kata yang ingin kaupercaya dariku.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum hari ini. Sebelum hari bahagiamu bersamanya, aku pernah tercabik-cabik sendirian. Sebagai sahabat, seharusnya aku banyak cerita padamu. Tapi aku hanya memilih untuk memendam semuanya. Kau pasti marah padaku, Nara. Sebab kita pernah berjanji untuk tidak lagi ada rahasia. Aku mengingkarinya setiap hari.
Tepat lima tahun lebih tiga bulan sebelum hari ini, hujan turun begitu lebat. Kau kehujanan, dan aku tidak membawa apapun untuk sekedar melindungimu. Seharusnya aku membawa jaket, atau jas hujan plastik, atau apa saja, paling tidak melindungi sehelai rambutmu saja. Tapi kau sudah basah, tak ada sisa kering sedikit pun. Dan aku semakin merasa bersalah, ketika kulihat bibirmu gemetar kedinginan.
Nara, seandainya waktu itu aku punya nyali, akan kupeluk tubuhmu. Membagi rasa dinginmu, agar setidaknya bibirku ikut bergetar merasakan. Maafkan aku, yang hanya diam melihatmu membeku. Jauh di dalam hatiku, aku justru merasa gagal menjadi pelindungmu. Nara, seandainya benar kau membaca ini, percayakah kau padaku? Bahwa saat kau terluka, aku ikut berdarah. Saat kau kedinginan, aku ikut membeku. Saat kau menangis, aku ikut teriris. Percayakah kau padaku, Nara? Setelah bertahun-tahun membohongimu, kali ini, kau kusuguhkan kenyataan yang tak akan sampai pada daya pikirmu. Nara, aku berkata benar kali ini meski kau tetap tidak percaya.
"Kakak kelas aku, ganteng-ganteng, tau!"
Di tengah hujan lebat waktu itu, di tengah gigil tubuhmu, kau terkekeh geli seraya memeluk tubuhmu sendiri. Petir yang menyambar langit-langit gelap saat itu, juga rombongan air membentuk barisan serdadu yang jatuh sama sekali tidak membuatku gentar dan terpukul, tidak seperti suaramu yang lembut menggetarkan sambil memuji laki-laki yang bahkan tak aku kenal siapa mereka. Itu mematikanku perlahan. Aku tidak mengenali laki-laki yang kauceritakan, tapi aku tetap saja tak suka.
Aku melirikmu, ada senyum lebar di sana. Aku ikut tertawa, "Ganteng siapa dibanding aku?" jawabku.
Nara, aku tidak sedang bercanda. Aku ingin menjadi laki-laki terbaik dalam kehidupanmu. Baik rupa maupun perangai, aku ingin jadi juara. Sungguh medali-medali olimpiade yang berjajar di kamarku tak ada artinya, jika aku tak bisa mengalahkan mereka yang berhasil memenangkan hatimu.
Kau tampak menyipitkan matamu, membuat teropong dengan sebelah tanganmu. Melihatmu melalui teropong buatan yang kaudekatkan dengan matamu yang indah. Lalu kau tersenyum lebar menatapku, "Yah, siapa yang bisa mengalahkanmu? Beri tahu aku?" tantangmu, lalu tertawa bahagia. Kau untuk kesekian kalinya berhasil mengukir senyum di bibirku yang sulit sekali kutunjukkan pada yang lainnya, selain padamu. Untuk kesekian kalinya, kau undang lesung pada pipiku agar terlihat menawan, dan saat itu kau akan berteriak kegirangan karena berhasil membuatku tersipu.
"Kamu senyum." katamu lembut, seiring dengan tawamu yang mereda.
"Kalau masih ganteng aku, berarti kamu nggak perlu lihat mereka."
Saat itu kau hanya tertawa, dan aku lagi-lagi kau buat jatuh cinta. Berkali-kali, tiap kau renyah tertawa aku kembali jatuh ke dalamnya. Nara, memangnya tidak bisa sehari saja kau berhenti memamerkan gigi-gigimu yang putih itu? Biar tidak ada yang jatuh cinta, biar aku saja.
"Jatuh cinta itu seperti apa ya?" kau bergumam asal. Membuatku menoleh cepat, memperhatikan wajahmu yang masih dibasahi air hujan.
Aku mengusap kedua pipi dan hidungmu yang basah, lalu tersenyum geli melihatmu yang masih menunggu jawabanku. Aku menepuk keningmu pelan, "Sakit. Jangan jatuh." kataku, pelan. Aku tidak ingin kau jatuh, sebab belum tentu aku dapat menangkapmu.
"Kalau ternyata bahagia?" tanyamu lagi.
"Pasti akan terluka." jawabku asal. Bisakah kau tetap berjalan, dan berjanji untuk tidak terluka kemudian hari? Bagaimana bisa aku bahagia jika melihatmu berderai air mata?
Kau mendengus kesal, tidak puas pada jawabanku. Kau melangkah mundur waktu itu Nara, menyilangkan kedua tanganmu di depan dada, menghakimiku dengan tatapanmu yang penuh prasangka. Aku menaikkan sebelah alisku, menahan tawa yang ingin segera tumpah melihatmu bertingkah lucu.
"Kan aku bilang, kita nggak boleh punya rahasia!" ucapmu kesal. Aku membuka mulutku, bagaimana bisa kau tahu aku menyimpan rahasia?
"Sekarang jujur!" todongmu tanpa ampun. Aku menggeleng, pura-pura tidak mengerti maksudmu. Aku lupa kalau kau wanita, wanita sering kali pandai mengorek rahasia, sekali pun kututup rapat-rapat agar tak terbaca, kau tetap dapat menemukannya.
Nara, aku pikir...
"Jadi kamu jatuh cinta sama siapa? Jujur!"
Aku pikir, aku bisa bernapas lega, Nara.
"Nggak boleh jawab jatuh cinta sama aku, harus jujur, ah sebel!" rujukmu, tak mau tahu. Nara, kalau kau tetap jadi jawaban sekali pun itu yang tak kau harapkan bagaimana? Aku bisa apa kalau memang kau jawabannya?
Aku tertawa, "Nanti kalau aku udah jatuh cinta beneran, aku kasih tau ya!" jawabku, demi melegakanmu. Dan demi hubungan ini, agar tetap baik-baik saja. Agar tetap dapat aku nikmati tawamu yang renyah juga senyummu yang menenangkan jiwa. Agar tetap begini saja kita, tak saling memiliki. Aku tidak ingin lebih jika harus menjadikanmu pergi.
Kau mengangguk, menyetujui janji yang tak butuh waktu lama, langsung aku ingkari. Nara, apakah aku pendusta, seperti katamu pada laki-laki yang pernah menjadi kekasihmu kemarin? Nara, apakah aku pendusta?
"Kenapa tadi kamu bilang sakit?" tanyamu, tiba-tiba. Hujan mulai reda, kini kita berdampingan di pinggir jalan, menikmati sejuk udara sisa-sisa hujan, dengan sayup angin menderu menyentuh pepohonan. Kau jalan dengan ujung sepatu menari, kadang-kadang berputar, sesekali melompat senang.
Aku memegangi tanganmu saat kau memilih berjalan di atas tepi trotoar, yang hanya bisa menumpu sebelah kakimu saja. Aku memegang erat tanganmu, sudah kubilang aku tidak ingin kau jatuh dan terluka. Apapun bentuknya, jatuh selalu meninggalkan luka.
"Hati-hati.." gumamku begitu kau mulai sedikit kehilangan keseimbangan. Kau hanya membalasku dengan anggukan kecil dan senyum lebar.
"Kenapa bisa sakit?" tanyamu, lagi.
"Karena jatuh itu sakit, Nara." jelasku, masih memegangi tanganmu.
"Serius dong."
"Aku serius, Nara." kau hanya mendengus sebal, dan terus berjalan dengan menggenggam sebelah tanganku. "Kalau aku jujur siapa wanita yang kucinta, kamu jangan marah ya?" gumamku pelan.
Kau menghentikan langkahmu, dan melompat turun. Kau mengulurkan jari kelingkingmu, dengan senyum merekah lebar di bibirmu. Aku menyentuh ujung kepalamu, lantas mengusapnya pelan. "Janji." pekikmu, menarik paksa kelingkingku agar bertautan dengan milikmu yang mungil itu.
Aku tertawa, disusul tawamu.
"Aku jatuh cinta dengannya!" Kau dengan serius memperhatikan genangan bekas air hujan yang kutunjuk, semakin memperhatikan, semakin alismu bertautan. Aku mengerti saat itu kau benar-benar tak paham.
"Lihat?"
"Tidak..." jawabmu, sungguh-sungguh. Aku menahan senyum, ingin sekali mencubit pipimu yang naik-turun itu.
"Lihat lagi, ada?"
Kau menggeleng, lalu mendorong tubuhku. "Ah, kamu bohongin aku!" pekikmu sebal, lalu berjalan meninggalkanku. Aku tersenyum masam sambil menyusul langkahmu.
Nara, apakah aku pendusta karena dengan tidak langsung mengatakannya padamu? Padahal aku sudah berkata jujur. Nara, di genangan air yang kutunjuk itu ada bayanganmu. Aku sedang menunjuk bayanganmu. Apakah aku pendusta, Nara? Sebab terlalu pengecut untuk menyatakan isi hatiku.
Nara, setelah selesai membaca ini, buanglah jauh-jauh namaku. Aku tidak ingin menjadi penghalang di hari bahagiamu. Pengecut sepertiku tak pantas mendapatkanmu yang butuh seorang pangeran pemberani. Yang berjanji untuk tetap menjagamu dan melindungimu. Dari percikan air hujan saja aku tidak bisa menjagamu, bagaimana bisa aku lancang menggenggam hatimu?
Apakah aku pendusta, Nara? Sudah kukatakan padamu saat itu, tapi kau tetap tak luluh.
Nara, Naraku...
Aku mencintaimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma Patah Hati
Short StoryCOVER BY @diflaa_ Kemarin aku lihat kau kian dekat, satu-satu pecahkan sekat, pelan-pelan mengikat. Berkali-kali berjanji untuk menetap di sisi. Tapi; tetap pergi. Wajahmu buram, ternyata kau hanya bayang, yang semakin kugenggam semakin hilang. Sema...