Perempuan Pembunuh Detak

307 17 2
                                    

Cerpen ini ditulis sebagai tugas akhir semester 3 jurusan Sastra Indonesia.

Salam dari saya,
Mantan mahasiswa

***

Perempuan Pembunuh Detak

Saya tidak paham bagaimana cara mencuri hatimu.

Hari ini langit tidak lagi biru, ada gumpalan awan hitam membendung kabung di atas cakrawala. Saya paham benar, saat maha surya itu luput dari jangkauan mata, atau tangan saya tidak gosong padahal jarum jam sudah berada di tengah-tengah, maka sebentar lagi, air langit itu tumpah, dan saya basah begitu saja. Ia memberi isyarat lewat pekat di atas sana, memberi aba-aba, bahwa dalam hitungan menit, air mata dan teriakannya akan membahana. Dan penduduk bumi mengumpat seenaknya.

Pagi yang sendu, seperti matamu.

Saya melihat punggungmu kala itu, tegap berjalan membelakangi saya yang tanpa melihat tatapanmu saja sudah malu. Tangan kananmu mengayun mesra, seperti menggoda saya untuk menggenggam erat tanganmu yang gagah. Sedang sebelahnya kamu sembunyikan dalam saku. Apa mungkin ada yang lebih malu dari perempuan yang diam-diam menikmati cara berjalanmu ini, hingga saya terpaksa hanya memperhatikan sebelah tanganmu yang pasi? Saya menghentikan langkah tiba-tiba, kamu berbalik tanpa aba-aba, membuat kedua telapak kaki saya terperanjat dengan kedua mata membelalak seadanya. Saya dengan bodoh bertanya tanpa suara, hanya kecap bibir yang menembus indra penghelihatanmu, yang entah saya tak tahu, kamu sadar atau tidak, kamu menggeleng begitu saja.

"Ada apa?" saya tidak bersuara.

Kesan pertama yang jauh di luar harapan saya. Saya sempat berpikir saat itu, mungkin saya akan pura-pura menabrak tubuhmu dari belakang, diam-diam menghirup aroma maskulin dari punggungmu yang bidang. Lalu kamu berbalik tiba-tiba, ujung bibirmu tanpa sengaja mendarat sempurna di rambut saya yang coklat tua. Kamu akan mendendangkan maaf berulang kali dengan membungkukan badan, saya hanya menahan senyum agar jangan terlalu lebar. Lalu kita, berkenalan. Manis sekali harapan saya, tapi kenyataan menampar harapan begitu tragis. Saya hanya sempat menangkap sorot matamu yang bengis, lalu kamu kembali berjalan tanpa menganggap ada seonggok manusia bernama saya. Sungguh saat itu saya ingin menarik dengan paksa lenganmu, menjabat tanganmu dengan menyampingkan malu, mengeja nama saya, agar kamu bisa memanggilnya kapan saja. Tapi lagi-lagi, saya hanya membiarkan punggungmu yang gagah itu menjauh.

Pagi yang sendu, seperti matamu.

"Ya kalau suka, mbok dicari toh, siapa tahu jodoh." Gendis namanya, saya tidak tahu mengapa gadis desa yang sering saya panggil Putri Keraton hanya karena aksen jawanya yang kental itu selalu punya seribu satu cara ngawur dalam memikat lawan jenis. Dan yang lebih sulit dimengerti lagi, hampir seluruh teman sekelas saya akan mengadukan masalah percintaan mereka pada Gendis.

Saya menghela napas. "Bukan gitu, Gendis unyu, masalahnya..."

"Iya tahu, belum tahu namanya, toh?"

Saya menggeleng.

"Lah iya, aku ngerti kok." Gendis masih saja teguh pada pendiriannya yang salah.

"Enggak, nggak ngerti." saya membela diri, entah kerasukan jin dari mana, saya yang biasanya masa bodoh dengan apa saja yang keluar dari mulut Gendis tiba-tiba bersikeras menjelaskan.

"Makanya, dicari biar tahu namanya."

Saya menahan napas, lalu mengembuskan perlahan. "Iya deh iya, nanti aku cari." dan saya, akhirnya mengalah. Gendis tersenyum penuh kemenangan, seperti baru saja mencetak gol di kandang lawan.

Sepanjang jalan Bondowoso, belok kiri menuju jalan Jombang, saya berkali-kali mengusap keringat. Tak banyak kendaraan, hanya ada beberapa motor membawa dagangan juga sepeda yang melaju pelan. Saya masih berjalan, lelah juga berjalan sendirian. Entah mengapa siang ini gerah, padahal sebelumnya hujan sudah mengucapkan ucapan selamat datang. Tapi rupanya, masih malu-malu untuk jatuh ke peraduan. Maka ia biarkan sang surya bangkit lagi menampakkan diri. Intinya tidak jadi hujan, saya bingung sendiri bagaimana menceritakannya agar indah dicerna.

Enigma Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang