Mengejar Asa Untuk Nada

792 34 1
                                    

Kalau Asa tahu, ia pasti marah.

Asa bilang cinta waktu itu, tapi tidak tahu kalau sekarang. Aku berharap semoga saja tidak, agar tidak ada yang terluka di antara kita. Bukan tidak ada, tapi tidak 'lagi' terluka. Cukup sudah masa lalu.

Kata orang, masa lalu adalah guru terbaik. Aku setuju, dia juga pasti akan setuju. Sebab kita akan menjadikan kisah yang pernah ada ini sebagai pelajaran berharga, agar tidak lagi terjadi pada belahan jiwa kita yang lainnya.

Asa dan aku, sama-sama sudah berdua. Kita hanya kepingan masa lalu yang mungkin tidak perlu dilupakan, juga tidak perlu didambakan. Hanya perlu dijadikan pelajaran. Kita pernah bersama untuk ditakdirkan menjadi kenangan, bukan masa depan. Aku sudah siap, bahkan sebelum dia berikrar cinta. Jadi saat dia pergi pun, aku lebih siap. Karena temu dan jemu adalah dua saudara kembar yang susah dipisahkan. Dan bertahan adalah kekuatan masing-masing untuk saling. Saling menggenggam, saling menguatkan, saling mempertahankan, dan saling lainnya. Percuma aku berusaha, tapi dia tetap ingin kita kembali menjadi asing.

Bertahan itu berjuang. Dan berjuang adalah usaha dua hati, dua jiwa dan dua raga. Bukan seperti kita waktu itu, yang memilih jalan sendiri, dan menyelesaikan segalanya sendiri. Aku tidak membenci Asa, aku hanya sempat kecewa.

Asa dan aku sama-sama tidak bersalah. Kita hanya dua manusia yang keras kepala. Untuk mendamaikannya, butuh satu di antara kita mengalah. Kepalaku adalah es batu, dan kepalanya adalah bola salju. Kita terlalu dingin untuk saling menghangatkan.

Waktu itu Asa harus melanjutkan studi di Mesir. Aku tidak tahu kapan Asa berangkat, tiba-tiba dia sudah di sana. Kita memang terlibat hubungan jarak jauh, Malang-Bandung. Sehari-hari berpijak pada belahan bumi yang berbeda membuat kita kesulitan berkomunikasi dengan baik. Awalnya sama sekali tidak jadi masalah. Masalah muncul ketika Asa harus melanjutkan studinya di sana, dan sebagai orang yang aku pikir penting dalam hidup Asa, seharusnya aku diberi tahu jauh sebelum Asa berangkat. Bukan begitu? Tapi Asa mungkin tidak menganggap itu sebuah masalah. Tapi perempuan memang perasa, aku seperti merasa menjadi orang yang tidak ada artinya dalam hidupnya. Asa yang baik, dia tidak pernah membuat hatiku terbaik. Kecuali hari itu. Sungguh masalah sepele yang menjadi akar permasalahan kita.

Lalu Asa menjelaskan, kalau dia di sana hanya empat bulan. Tidak lebih. Untuk waktu yang Asa pikir sebentar, tapi bagiku itu sebuah rencana yang besar. Jadi, aku tidak perlu tahu kalau hanya empat bulan, aku perlu tahu hanya kalau bertahun-tahun di sana? Mungkin maksud Asa begitu. Aku iyakan saja, agar masalah cepat selesai. Salahku adalah, aku mengiyakan agar perdebatan kita tidak panjang, tapi aku tidak lega dan masih marah.

Setelah itu, dia rutin menyapaku setiap pagi Waktu Indonesia bagian Barat. Aku tidak peduli pukul berapa di sana. Yang aku nilai hanya, Asa sedang memperbaiki presepsiku tentang dia yang sempat kunilai tidak lagi menganggapku penting. Asa berhasil, aku merasa diperhatikan. Tapi tidak berlangsung lama, dia akhirnya membuat masalah baru.

"Mau oleh-oleh apa?" tanyanya via chat.

Aku bilang ingin apa saja, terserah dia. Lalu, dia menjawab dengan kalimat yang membuat otakku mendidih dan kembali marah.

"Oke, nanti kalau ingat ya!" jawabnya. Oh, kalau ingat. Jadi aku ada kemungkinan untuk dilupakan?

Asa yang baik, Asa yang tidak pernah menyakitiku, Asa yang selalu membuatku nomor satu, Asa yang selalu membuatku menjadi seperti putri, tapi Asa yang jika marah meledak-ledak, Asa yang jika marah tak pernah mau mendengar penjelasanku, Asa yang keras kepala, Asa yang tidak mau disalahkan.

Semenjak dia di sana, aku memasang foto dengan teman laki-lakiku. Membiarkan dia berpikir tidak-tidak. Entah, terserah saja. Aku tidak peduli. Biar dia tahu rasa, pikirku. Tapi, tidakkah kalian percaya bahwa kita berakhir hanya karena salah paham seperti itu? Selama 2013-2015 kita bersama harus berakhir begitu saja karena masing-masing dari kita enggan didengar dan mendengar? Aku tidak berusaha menjelaskan, dan dia tidak ingin menerima penjelasan. Lalu kita berpisah.

Sangat sederhana.

Asa yang rupawan bagiku, meski dia berulang kali merasa tidak percaya diri. Dia tidak pernah merasa tampan, sedang aku selalu melihatnya menawan. Asa yang pernah menangis untukku. Asa yang tak pernah tersenyum setiap kali kita bertemu. Asa yang tidak banyak bicara kalau kita berjumpa. Asa yang selalu berkata bahwa senyumku membuat dadanya berdesir. Asa yang selalu mengatakan cinta dengan malu-malu. Asaku itu, yang tidak ada laki-laki seperti itu selain dia. Dengan sikap kerasnya, dengan gaya angkuhnya, dengan senyum sinisnya, dengan suara beratnya, dengan pembawaannya yang menawan. Semua tentang dia masih kuingat jelas, meski sudah lama kita tak bersua.

Asa yang pernah menjadi milikku itu, nanti akan menggenggam tangan orang lain.

Tidak apa-apa. Masa lalu kita hanya cukup jadi kenangan. Aku tidak menyesal pernah mengenalnya, aku hanya menyesal, sebab begitu sulit menemukan penggantinya. Kelak, tangan yang akan menggenggamku pasti lebih baik darinya tapi tidak akan pernah sama dengannya. Tidak ada yang bisa menggantikannya bukan berarti tidak ada seseorang yang lebih baik dari dia. Pelajaran berhargaku, tidak akan lagi menomorsatukan ego. Kalau mau menang sendiri jangan menjalin hubungan, sebab hubungan bukan tentang cinta dan setia saja. Tapi tentang komunikasi, memahami dan dipahami. Dan untuk dipahami, kita harus belajar memahami.

Aku tidak berusaha memahami Asa. Aku hanya sok paham. Itulah mengapa, Asa tidak bisa memahamiku.

Asa pasti marah jika membaca ini, sebab dia tidak suka disindir lewat tulisan. Dan ini menjadi salah satu sebab kita berakhir, karena dia merasa disindir lewat tulisan. Sedangkan aku adalah seorang penulis.

Mengejar Asa untuk Nada hanya judulnya saja. Sebab Nada tidak pernah benar-benar mengejar Asa, hanya sok mengejar saja. Sebab jika benar aku mengejarnya, Asa pasti masih di sini bersamaku. Menenamaniku menulis sampai pagi dengan secangkir kopi susu. Aku di depan laptopku, dan Asa di depan laptopnya. Aku dengan tulisanku, dan Asa dengan game kesukaannya.

Ditulis oleh, Nada yang manja.
Bukan untuk Asa, tapi untuk kau baca.

Enigma Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang