"Syurgaaaaa." Gue berteriak saat berhasil mendaratkan raga dengan sempurna diatas kasur.
Hari ini gue baru saja pulang dari bertempur di Malaysia, liputan sekaligus cuci mata. Cuci dompet sih sebenernya karena pulang-pulang koper gue sudah berisikan dua handbag dan sneakers lucu keluaran TopShop.
Oh iya, mungkin kalian penasaran ya kerjaan gue tuh apaan. Kalau gue yang kerja di stasiun televisi pasti kalian tau kan? Nah yang kalian nggak tau pasti bidang apa sih gue?
Saat ini gue berada di bawah naungan program FaStyle, itu loh program yang dibangga-banggain si Ana, sang creative producer. Dulu sih, gue ditempatkan di bagian koordinator talent, tugasnya lobbying dan meeting dengan narasumber, walau ini lebih sering di handle Mbak Bianca—produser program atau Ana. Jangan tanya 'kok bisa?', karena program kita tuh kayak gotong royong jatuhnya. Namun sekarang, baru bulan lalu sih, gue diminta untuk menemani Mbak Bianca. So, posisi gue saat ini ialah asisten produser.
Ngapain aja sih gue?
Jadi begini ya saudara-saudara. Sebagai asisten produser, gue kerjanya meng-handle kerjaan-kerjaan yang dibebankan ke produser. Mbak Bianca ini bisa dibilang otaknya dari sebuah program. Ide dan perencanaan soal anggaran, rundown, siapa narasumber yang akan kita gunakan, dan konsep apa saja yang nantinya akan diteruskan ke creative, konsep editan gambar, dan masih banyak yang lainnya dipikirkan juga oleh produser. Karena tanpa titahnya, kita belum akan melakukan produksi. Dan tugas gue disini? Tetep jadi cungpret, cuma udah beda kelas gitulah. Kerjaan makin banyak karena yang bantuin Mbak Bianca mikir ide dan konsep, terus ngusulin narasumber, sampai mikirin gimana transportasi ternyaman untuk narasumber itu juga gue bantu mikir. Sekarang gue sebelas dua belas posisinya sama Ana, dengan kerjaan segudang. Lembur everytime, everywhere. Padahal dulu gue hobi banget protes kalau Ana lemburnya ngga manusiawi.
Sekarang, jangan harap jam sembilan malam gue udah duduk di kursi bioskop di Kokas atau take away Keny Rogers sambil streamingan drama korea.
Jam sepuluh mungkin gue baru keluar kantor, ataupun kalau udah pulang dari sore, gue lebih milih ikutan aerobik di daerah Benhil. Ya, hidup kan harus seimbang, dan inilah cara gue menerapkan Yin dan Yang dalam kenistaan cungpret yang gue jalani.
"Tisaaaaa! Nak! Kakak! Tisaaaaa!" suara Bunda menggelegar, menyadarkan gue. Berbicara dengan kalian membuat gue tak sadar bahwasannya bunda sudah memanggil nama gue berulang-ulang kali. Pantas saja ketika gue turun, wajah juteknya sudah terpampang nyata.
"Bunda panggil dari tadi kok nggak nyahut? Kirain Bunda kamu ditelen bumi." Ujar bunda dengan tersungut marah.
"Astaghfirullah Bunda, kok ngomongnya gitu. Tisa capek tau Bun." Gue membela diri. Tapi beneran ini capek banget gue. Salah sendiri, ngiterin Pavilion dari siang sampai mau tutup itu mall.
"Udah makan? Makan dulu sebelum beneran mati." Omel bunda yang membuat gue seketika mendelik. Bunda gue emang mulutnya nyakitin banget kalau lagi marah. Yang harusnya di doain tiap malam Jum'at tuh bunda deh, bukan gue. Ya nggak sih?
"Laporin ayah ih Bunda tuh mulutnya pedes banget!" gue mengancam, namun tetap melangkahkan kaki menuju meja makan.
"Bun, ini ayam semurnya nggak dikasih sianida kan?" tanya gue usil.
Wajah bunda semakin merah padam, gue tertawa.
"Baygon sebotol itu Bunda habisin." Jawabnnya membuat gue tersedak air putih yang gue sedang minum.
"Makanya, cepetan nikah. Capek Bunda marah-marah mulu sama kamu. Kayak Bunda marah sama anak umur sepuluh tahun." Ujar bunda. Tumben banget ini nyokap gue nyuruh-nyuruh nikah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPAD
قصص عامةKebetulan itu hanya membumbungkan harapan. Jika sudah di puncaknya, manusia menilai alam semesta berkonspirasi untuk mempertemukan sebuah kenyataan. Dan gue, tak menganggap kebetulan adalah sesuatu yang harus gue puja-puja. -Balerin Nastisha (Tisa...