Waktu berjalan begitu cepat menurut gue. Dua bulan lalu bertemu dengan Tisa di acara lamaran kakak gue dengan sahabatnya Tisa, dan besok kakak gue yang 'terlihat' sempurna di mata kalian itu akan menikah. Berarti, sudah dua bulan juga gue ketemu Tisa dan menjalani hubungan up and down kayak gini. Bukan, bukan. Hubungan gue sama Tisa belum berubah kok, tetap menjadi kucing dan tikus. Ribut mulu, toyor-toyoran mulu, dan selalu menguras emosi mulu. Namun, hal yang sangat gue syukuri, Tisa mulai bisa menghadapi gue, begitupun sebaliknya. Tisa yang sekarang punya kadar kejutekan lebih rendah, dan makin manis aja tiap hari. Kan jadi kangen. Padahal baru tadi pagi gue ketemu pas sarapan bareng.
Besok gue sama Tisa berangkat bareng dari Jakarta. Niat berangkat jam 3 dini hari. Kenapa nggak malam ini aja? Tisa masih ada kerjaan di kantor dan gue ini masih nungguin Direja, kepala bagian accounting, yang akan menjelaskan tentang income perusahaan bulan kemarin.
Setelah makan siang, Monika grasa-grusu masuk ruangan gue.
"Bos, gue capek ih." Rengeknya.
"Apalagi sih?" tanya gue kesal.
Gimana nggak kesal. Ini asisten gue hobinya ngeluh mulu. Masalahnya cuma gara-gara pacarnya lah atau gara-gara tas yang mau dia beli nggak jadi diskon lah, dan sederet curhatan nggak penting-penting amat lainnya. Dia nggak pernah ngeluh soal kerjaan, tapi ngeluh urusan pribadinya. Jadi bos dia tuh nggak cuma harus nyuruh dan memerintah dia doang, tapi siap dengerin curahan hatinya yang nggak habis-habis itu. Pening gue. Eh tapi dia pendengar yang baik juga deng untuk urusan curahan hati gue.
"Ini loh pacar lo yang Retta. Neror gue mulu. Lo hadepin sendiri kek!" bentaknya sambil menyodorkan ponselnya.
Gue mengambil ponsel Monika dan melihat deretan panjang message yang terpampang via whatsapp. Sumpah, ini gue sejak kapan sih nggak interaksi sama Retta? Dan kenapa gue baru sadar Retta amat sangat menjijikkan. Isi chat yang dia kirim ke Monika nggak mutu semua. Nanyain kabar gue lah, gue udah makan apa belum lah, gue meeting kapan, sampai gue tidur malam jam berapa. Gila ini bocah emang.
"Udah sih lo block aja." Ujar gue seenak udel.
"Eh kalau nge-block dia gampang mah tinggal gue lakuin. Nah ini dia ngancem kalau gue nge-block dia, pacar gue mau di godain sama dia biar gue putus."
"Dan lo percaya?" tanya gue heran. Monika mendelik.
"Ya enggaklah!" Monika menjawab dengan emosinya.
"Yaudah block aja sih, Nik. Gitu aja kok repot. Pacar lo alim kan? Rajin solat gitu." Ujar gue. Gue inget-inget sih pacarnya Monika nih alim banget. Masalahnya apakah masih itu pacarnya, gue tidak tahu-menahu.
"Si Dito? Udah bukan itu, Bi." Jawabnya. Nah kan? Monika nih sebelas dua belas sama gue sih.
"Duh siapa lagi???????" gue mengacak-acak rambut. Ini gue udah tobat, kok asisten gue nggak tobat-tobat?
Monika senyum-senyum menggelikan. Jari jemarinya saling beradu. Ia menggoyang-goyangkan badannya. Menjijikkan.
"Lo kenapa sih? Najisin tau!" gue semakin geli ngeliat tingkah Monika.
"Siapa?" cecar gue.
"Pacar gue baru, Bi." Jawabnya. Masih dengan senyum-senyum najisin ala Monika gitu.
"Ya siapa bege?" gue mulai emosi jiwa ngeliat asisten gue meliuk-liuk kayak ulet bulu gini.
"Gama." Satu jawaban yang membuat gue tiba-tiba langsung bangkit. Gue denger apa? Siapa?
"Ngaco!" bantah gue.
"Seriusaaaaaaaan." Monika membela lagi.
"Orang gila! Lo mau sama si PK satu itu? Najisin!" Oke, Gama itu sahabat gue. Teman terdekat gue. Tapi karena lo tau dia itu gimana, kan jadinya nggak bakalan lo menjerumuskan orang terdekat lo buat menjalin hubungan sama dia. Dan sekarang? Monika, asisten gue terbaek, ter ter segalanya, jatuh ke pelukan Gama? Ini sinting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPAD
Fiksi UmumKebetulan itu hanya membumbungkan harapan. Jika sudah di puncaknya, manusia menilai alam semesta berkonspirasi untuk mempertemukan sebuah kenyataan. Dan gue, tak menganggap kebetulan adalah sesuatu yang harus gue puja-puja. -Balerin Nastisha (Tisa...