3. Bunda Nidya

84 46 7
                                    

Tante Nidya adalah kakak dari ayahnya Letta, yang dari dulu setia pada logat Jambi, alias tidak bisa lepas sepenuhnya dari logat tersebut. Bahkan Letta disuruh memanggil suaminya yang bukan orang Jambi dengan sebutan "pakwo" agar sesuai dengan bahasa Jambi.

Dia tinggal satu rumah dengan Letta, hingga sang rumah tidak sepi dan banyak yang mengisi. Tante Nidya membuka les SD di rumah itu, belajar di satu ruangan khusus.

"Tante kangen sama Adit," Tante Nidya tersenyum.

Letta terdiam sejenak. "Letta juga," jawab Letta pelan.

"Hari ini Adit ulang tahun ke-15," ujar Tante Nidya lagi.

"Iya," hanya itu jawaban Letta, ia tak mau salah menjawab.

"Dia lagi apa ya di pesantren?"

"Tante coba telfon aja," ujar Letta pelan.

"Udah, gak ada yang ngangkat. Kayaknya gurunya sibuk, jadi belum kasih kabar ke Adit kalau ibunya nelfon," kata Tante Nidya lagi, mengingat bahwa Adit tidak boleh menggunakan ponsel.

Dialah Adit. Seorang anak panti asuhan yang di-adopsi oleh Tante Nidya sejak umur 11 tahun. Satu hal, yang sebenarnya dirasa tidak suka sekali dibahas adalah, Tante Nidya sulit mempunyai anak. Itulah mengapa Adit hadir di keluarga mereka.

Dulu, Adit juga dekat dengan Bang Arga. Namun saat Bang Arga meninggal, kakek Letta tak dapat mengendalikan amarah dan kecewanya. Jadilah imbasnya ke Tante Nidya yang masih belum bisa punya anak dan ke Adit sebagai anak adopsi. Letta ingat satu waktu Adit menangis di hadapannya.

Ia bilang, "Kau beruntung, cuma kehilangan abang. Aku kehilangan ibuku, ayahku, abangmu yang mau kusebut abang kita, dan sekarang, aku justru seperti diusir, hingga pasti jauh dari Ibu Nidya!" lebih kurang begitu, pokoknya dia juga mengeluh karena Letta terlihat sangat cemen.

Adit mengatakannya sambil menangis, karena nyatanya ia memang langsung dipindahkan ke pesantren saat kelas 7 SMP. Bang Arga meninggal saat Adit masuk kelas 7 dan Letta naik kelas 9.

"Sabar ya, tan?" ujar Letta pelan.

"Gak apa. Yaudah, tante pengen denger cerita tentang sekolahmu dong hari ini," jawab Tante Nidya.

"Hm, apa yaa?" Letta berpikir untuk curhat pada tantenya. "Ah iya, aku mau ceritain deh. Gak tau ya, ini cuma cerita gak penting sih, ih gak tau deh tan," Letta bingung sendiri dengan omongannya.

"Bunda mau dengar," jawab tante Letta. Letta sempat tertegun sebentar, mendengar Tante Nidya menyebut dirinya "bunda". Letta menghela napas, lalu mulai bercerita.

"Kemarin pagi, di hari pertama masuk sekolah, kami semua berkumpul di lapangan karena disuruh ngumpul, mau upacara sekaligus apel. Jadi, Letta baris di barisan kelas baru Letta. Waktu pagi, Veya udah bilang kalau kami sekelas. Jadi yaudah, Letta percaya karena tampang Veya saat ngomong kayak gitu serius dan kelihatannya dia senang karena sekelas."

"Terus?" tanya Tante Nidya yang menunggu paragraf selanjutnya.

"Jadi aku baris, di samping aku ada cowo yang penampilannya ituuu ... brikele? gitu deh tan, acak acakan. Terus gak lama, dia malah bilang kalau dia ketua kelas. Aku maklum sih, walaupun aku tau dia bohong.

"Masih mending ngaku ketua kelas. Kalau ketuaan kan susah, tan. Repot, bawa tongkat atau pakai gigi palsu. Yaudah aku diem aja."

"Hm?" Tante Nida mengangguk, sambil menggaruk hidungnya.

"Terus pas udah siap upacara, tante tau gak? aku bingung dia itu dukun siswa atau dukun kelas atau dukun apa. Dia beneran terpilih jadi ketua kelas di kelas baruku! semuanya pada teriak, atau nunjuk-nunjuk dia."

LETTER (Suratku Bagimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang