13. Suara Hati

33 10 0
                                    

Sang pusaka berkibar indah di atas tiang, disambut dengan suara merdu sang bel pulang sekolah. Murid yang tadinya mengantuk, letih dan bosan menampakkan wajah-wajah ceria mereka, menyandang tas dengan penuh semangat.

Berbeda dengan Rian yang masih menatap bendera di lapangan. Tangan kanannya tidak melakukan hormat lagi, pelipisnya dipenuhi keringat dan bajunya basah. Dia seperti habis mandi di sungai atau terjebur ke dalam sumur!

"Anterin gue pulang," suara Letta terdengar di telinga Rian.

Rian tersenyum sendiri kemudian menoleh. "Ah?" keningnya sekarang berkerut karena ternyata Letta sedang bicara pada Akbar.

"Se ... karang?" Akbar menaikkan kedua alisnya.

"Mau sekarang kek, sekarung, sekerang juga, anterin gue intinya!" Letta bicara dengan irama sangar.

"Yan, ini bini lo minta pulang bareng gue, gimana?" Akbar berteriak pada Rian.

Letta langsung menempeleng kepala Akbar dengan keras! "Blo'on!"

"Jangan mau, dia gigit!"

"Mulut lo Yan!" teriak Letta tidak terima.

"Sexy mulut gue," jawab Rian santai.

Veya hanya tertawa sejak tadi, ia tidak ikut-ikutan bicara.

"Anterin gue!" suruh Letta lebih tinggi.

Rian berjalan cepat dari tengah lapangan ke arah parkir, tempat teman-temannya berdiri.

"Yaudah gue anterin, ah!" Akbar mengelus keningnya yang dijitak oleh Letta.

"Gue bilang jangan."

"Kenapa?!" Letta membentak.

"Nganterin lo itu tugas gue," Rian menunjuk Letta.

"Sejak kapan?" Akbar bertanya.

"Sejak dia lahir," Rian menatap Akbar.

"Siapa yang lahir?" Veya bicara.

"Dia," jawab Rian.

"Dia siapa?" Letta melipat tangan di depan dada.

"Srigala,"

"Maksud lo?!" Letta memijak kaki Rian keras-keras.

"Emangnya lo srigala?" Rian mengangkat sebelah alisnya.

"Ayo Bar, kita pulang." Letta menarik lengan baju Akbar.

"Satu Bar," Rian berhitung, seperti mengatakan bahwa itu peringatan.

"Gue gak mau bareng lo ... tukang melawan!"

"Gue gak maksa lo," Rian mengangkat bahu.

"Ini namanya maksa!"

"Gue cuma maksa Akbar, bukan lo."

"Yaudah paksa gue juga dong!"

Rian pikir itu sebuah perlawanan, tapi ternyata itu adalah permintaan. "Ikut gue," Rian merangkul Letta dan membawanya ke tempat parkir motor Rian.

"Gak usah ngerangkul!" Letta melotot lalu menepis kasar tangan Rian.

"Itu cara gue maksa, Latifah." Rian menyorot mata Letta.

"Cepet pulang," Letta mengalihkan pandangan.

"Doain gue!" teriak Rian pada Akbar dan Veya.

"Biar jadian?" tanya mereka serentak.

"Biar gak khilaf," Rian tertawa jahil.

Letta mundur beberapa langkah dari motor Rian, rada-rada takut.

LETTER (Suratku Bagimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang