Aku mau tanya,
Ketika senja melewati masanya
Ketika mendung selesai mendrama
Siapa yang akan datang?
Matahari atau bintang malam?
Ayah asli atau tetap bayangan?Letta tersenyum haru setelah melihat Akbar dipeluk oleh ayahnya, karena ia bercerita tentang musiknya yang didukung oleh banyak guru ataupun siswa.
"Yah, malu nih, udah gede nih, 17 nih, punya KTP bentar lagi." Ujar Akbar tertawa, geli karena ayahnya tak bersikap seperti biasa.
"Setiap yang namanya ayah pasti ingin memeluk anaknya, selalu dan selamanya. Catet itu, Bar!" kata ayah Akbar sambil menepuk jidat Akbar.
"Aw," Akbar mengelus jidatnya.
"Om, maaf. Veya pengen ke toilet, boleh om?" Tanya Veya tagu.
"Oh, iya. Masuk aja, di sebelah kiri ya, Vey."
"Sip, om. Makasih," Veya meninggalkan teman-temannya di ruang tengah.
Veya juga meninggalkan Letta yang menatapnya penuh harapan, agar Veya mengerti apa yang sedang Letta rasakan dengan adanya suasana begini.
Letta mengedarkan pandangannya, mengartikan keluarga sesungguhnya. Mereka yang dapat berkumpul seperti ini, rumah sesederhana ini, kebahagiaan mereka juga didapat dengan cara yang sederhana pula. Tidak perlu naik-turun tangga jika ingin bertemu, jika ingin mengobrol, menonton bersama, istirahat, mengurangi langkah capek di siang atau malam.
"Letta kok diam aja dari tadi?" tanya ibu Akbar di sebelah kanan Letta. "Udah kangen lagi sama ayahnya ya? Padahal baru keluar sebentar, hahaha ... titip salam pada ayah dan ibumu."
Mata Letta memanas. Tubuhnya seperti merinding sendiri, merasakan ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. Tiba-tiba Letta ingin pulang, pulang, dan segera pulang.
"Tan, om ... hm, saya permisi pulang dulu ya, tan, om. Ada perlu soalnya, maaf ya tan, om, Bar, Yan."
"Oh, yakin, Let? Buru-buru sekali? Di luar mendung loh?"
"I ... iya, tan. Gak apa, ada perlu."
"Hati-hati ya Let," kata Akbar, dan Letta mengacungkan kedua jempolnya.
Letta keluar dari halaman rumah Akbar dengan santai. Sudah beberapa meter, Letta menoleh pada rumah itu lagi. Matanya menatap penuh arti, hatinya berteriak meminta pulang. Tapi sayang, akalnya mengatakan tentang,'emang di rumah ada ayah?'
Letta berlari, entah kenapa. Pandangannya mulai kabur, air mengalir deras di pipinya. Letta berhenti di pinggiran komplek rumah Akbar, sepi. Letta berjongkok, hatinya terus menggenggam beban yang memberatkan. Tentang kepedulian, tentang perhatian, keacuhan, kesibukan, yang pada dasarnya adalah tentang ayah.
Letta memejamkan mata saat gerimis menyapa-nya. Inilah keperluan Letta, Letta perlu hujan yang menyegarkan pikiran, menutupi air mata. Letta berdiri, meremas jari-jari tangannya.
"Hujan, aku rindu pada ayah. Aku tahu dia tidak pernah siap dengan kepergian bunda, ditambah lagi kak Arga. Tapi hujan, aku juga mengalaminya. Hujan, aku siap hujan, aku bisa siap. Aku udah siap-siap dari dulu!!!"
Namun ada beban berat yang menopang di hati Letta, yang saat ini terus menggedor emosinya. Bahkan Letta tidak mampu lagi melanjutkan perjalanannya. Ia berjongkok lagi, merayu kakinya agar tidak gemetar.
"Bunda, Letta kuat. Letta senang di sekitar hujan." Kata Letta pelan, seolah bicara pada bunda yang melahirkannya.
"AYAAAAHHHH!!!!" teriak Letta di antara derasnya hujan, tak ada yang mampu mendengarnya. "Ayah," ulang Letta.
KAMU SEDANG MEMBACA
LETTER (Suratku Bagimu)
Teen Fiction#137 - hati "Lihat gue, Rian!" Bentak Letta. "Jangan, kalau gue jatuh cinta, gimana? Bisa lo balas?" kata Rian santai. "Astaga!!! VEYA, AKBAR, SI RIAN UDAH STRESS!" Letta berteriak, memanggil kedua sahabatnya lagi yang mungkin sedang makan di kantin...