10. Kedipan Mata

47 11 0
                                    

Jam pelajaran kosong, dan sebentar lagi akan istirahat. Kegiatan siswa di kelas Letta pun beragam saat guru tak datang seperti ini. Ada yang main bola dalam kelas, main kartu alias UNO, main gitar, ada juga yang sibuk mengerjakan PR untuk pelajaran selanjutnya.

"Tapi Rian sama Akbar itu beda apa gimana ya?" tanya Veya pada Letta, bingung harus mendeskripsikan kelakuan 2 sahabatnya itu.

"Mereka spesies apa ya, Vey?" tanya Letta sambil memandang keluar pintu.

"Heran juga gue," Veya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mereka gak ada mainan lain?" tanya Letta dengan satu arah pandangan, yaitu lapangan sekolah.

Berbeda dengan Letta dan Veya yang tengah membicarakan Rian dan Akbar, yang dibicarakan justru sedang asik tertawa di lapangan. Mereka menyentil bola-bola kecil itu, lalu berteriak "yes" atau "yah".

"Main kelereng di lapangan sekolah, tanpa sepatu saat jam pelajaran. Itu kreatif apa gimana ya?"

Letta bergumam sambil menggelengkan kepala, masih ragu jika Rian dan Akbar adalah teman sekelasnya. Lebih parahnya lagi, beberapa anak kelas juga ikut bermain kelereng dengan mereka!

"Besok gue bawa kaleng sama lilin, boleh gak ya?" ujar Veya dengan tawa ringan.

"Jangan bilang lo mau?" Letta mencerna niat Veya yang aneh itu.

"Masak telur," jawab Veya ringan tanpa beban.

"Vey," panggil Letta pelan.

"Hm?" Veya menaikkan alisnya sebagai jawaban atas panggilan Letta.

"Penyakit jiwa itu nular gak?" kata Letta dengan lirikan tajamnya.

"Itu bisa disebabkan lingkungan dan tekanan emosi juga sih, Let."

"Kalau lo, stadium berapa?" tanya Letta dengan nada khawatir.

"Gue bakal sembuh, Let. Jangan khawatir," Veya tersenyum jahil.

Letta mendengus kesal, lalu duduk di lantai bagian depan kelas, di dekat papan tulis. Di sana juga ada Isna, Salma, Nurrahmah, dan Refina. Letta yang mendengar obrolan mereka jadi tertawa ringan, karena mendengar cerita dari Refina.

Refina bilang, "Waktu itu aku kan berenang. Terus pas kami baru datang, mau lepas sepatu kan, ada segerombolan anak seumuran kita lagi berenang juga, tapi mereka ngelihatin aku. Tapi yaudahlah ya aku biarin aja, aku lepas sepatu aku karena sepatunya ditaruh di luar.

"Nah, mama aku suruh aku cek sepatunya pas mereka udah pulang. Aku langsung cek kan, dan ternyata sepatu aku udah gak ada! udahlah sepatunya bagus, beli pakai uang sendiri, is aku sayang kali sama sepatunya. Aku sampai bercarut kan, marah-marah, sambil carik sepatu itu tapi gak ketemu! di situ padahal ada satpam, aku tanya-tanyain satpamnya tapi dia gak tau!

"Gondok aku, pengen nangis. Aku lihat satu persatu sepatu orang yang ada di sana, mana yang paling bagus langsung aku ambil, aku masukin ke mobil. Bodo amat aku gak peduli, satpamnya juga lihat aku ambil sepatu orang tapi aku gak peduli, lagian satpamnya diem aja! is kesel aku sama satpamnya. Kan jadi logikanya sama anak remaja tadilah yang ambil, soalnya gerak gerik mereka yang mencurigakan dari awal aku mau lepas sepatu!" Refina meledak.

"Sepatu yang mana sih?" tanya Salma di depan Refina.

"Ada, aku pernah pakai ke sekolah, ada warna pink-nya dia." Jawab Refina.

Letta mengalihkan pandangannya ke luar, terlihat Rian dan yang lain sedang kena marah Bu Teti!

Mampus! umpat Letta yang kesal melihat tingkah mereka.

Tak lama, orang gila itu berjalan menuju kelas sambil mengelus telinga mereka. Tapi mereka justru tertawa lebar dengan membawa sekantong kelereng.

"Hai, Let!" sapa Rian dengan senyum paling menyebalkan itu.

Letta hanya diam, memerhatikan kaki Rian yang tak menggunakan sepatu.

"Sepatunya kepanasan kalau gue bawa main," jelas Rian tanpa ditanya Letta.

"Ngomong apasih!" cetus Letta.

"Sepatunya kepanasan kalau gue bawa main?" ulang Rian dengan nada bertanya balik.

"Udah SMA kelakuan kayak TK!" ujar Letta pelan.

Rian tertawa renyah. "Pas TK, gue gak kek gini,"

"Bohong," jawab Letta singkat.

"Gak bohong! pas TK, gue lebih ganteng,"

"Lebih parah iya," kata Letta singkat.

"Dih, sok tau!" jawab Rian sambil mengambil sepatunya di bawah kolong meja.

"Gue tau," kemudian Letta menggamit tangan Veya, membawa sahabatnya itu ke kantin karena bel istirahat berbunyi.

"Tau apa lo, woi!" entah kenapa, Rian justru berteriak dengan nada bercanda.

"Bar," ujar Rian lagi, pada Akbar di sebelahnya.

"Ha?" jawab Akbar sambil menggerakkan dagu sebagai jawaban.

"Gue ganteng gak?"

"Kampret!" Akbar mengumpat karena kesal dengan pertanyaan Akbar.

"Jadian yuk?"

"Sinting!"

"Gue ditolak, gitu?" kata Rian sambil memegang dadanya, seolah sedang sakit hati atau jantungan, entahlah.

"Main kelereng aja lo curang, gimana mau main hati?" bisik Akbar pada telinga Rian.

"Jantung gue berdebar, ini cinta?"

"Ini Akbar, bukan Cinta!"

Rian hanya mengangguk, untuk kemudian pergi meninggalkan Akbar di belakangnya.

***

Pulang sekolah, Rian dan Akbar tengah membawa tong sampah kosong ke arah kelas. Nama mereka berdekatan di urutan absen siswa, karena itulah mereka mendapat hari piket yang sama.

Dari koridor kelas, Letta dapat melihat wajah Rian yang ditekuk kusut dan jelek. Dia memasang tampang kesal dan marah.

"Nih, Let. Makasih, ya!" ujar Maria yang baru saja mengembalikan ponsel Letta yang ia pinjam untuk menelfon ayahnya.

Letta mengangguk, mencoba tersenyum pada Maria yang telah berlalu.

Lalu Letta kembali melihat Rian dan Akbar. Rian yang semakin dekat, wajahnya yang parah tak beraturan berubah menjadi ramah.

Ia menaruh tong sampah, lalu masuk ke dalam kelas dengan lewat di sebelah Letta.

Ia lewat dan mengedipkan sebelah matanya, hingga Letta langsung bingung harus bertingkah bagaimana.

"Kedipan maut!" Veya yang melihat kejadian itu langsung menyikut lengan Letta. Dan demi Letta yang masih kaget, Veya rela untuk tertawa lebih keras.

"Kenapa?" tanya Rian dan Akbar setelah mengambil tas mereka.

"Eciee, tahan, Let. Tahan!" goda Akbar sambil melucu

"Garing!" jawab Letta singkat.

"Yang penting halal, ya kan Bar?" Rian menoleh pada Akbar.

Akbar tertawa, mengacungkan kedua jempolnya.

Bersambung...

LETTER (Suratku Bagimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang